Ada satu momen yang sering muncul di sela-sela perbincangan ringan, biasanya saat melepas penat di kantin kampus atau di tempat kerja setelah jam lembur. "Kita sudah sejauh ini, ya," ungkap seseorang, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada orang lain.
Kalimat sederhana itu sering kali membawa refleksi. Dulu, siapa yang menyangka bisa melangkah sejauh ini, bahkan untuk bermimpi duduk di bangku perguruan tinggi pun rasanya tak pernah terlintas.
Hidup memang punya caranya sendiri. Masuk perguruan tinggi atau kuliah bagi sebagian orang adalah jalan yang dipilih bukan karena keadaan mendukung, tetapi justru karena keadaan menantang. Ada yang harus bekerja di pagi hari dan berlari ke kampus sore harinya.
Ada yang rela bergadang menyelesaikan tugas sambil menahan lelah setelah seharian mencari biaya tambahan. Dan ada juga yang berulang kali meminta pengertian dosen karena harus absen demi memenuhi tanggung jawab lain di luar kampus.
Bukan karena tidak serius, tapi karena itulah cara bertahan.
Pendidikan, meskipun hak semua orang, pada kenyataannya masih sering menjadi sebuah privilege. Tidak semua memiliki akses yang sama, dan tidak semua dapat menikmatinya tanpa tekanan finansial atau emosional.
Laporan dari DJKN Kemenkeu menyebutkan bahwa stres finansial merupakan salah satu pemicu utama gangguan mental seperti depresi, yang dapat menghambat kesuksesan akademis (djkn.kemenkeu.go.id).
Keterbatasan dalam pendidikan ini tidak hanya menghambat individu, tetapi juga memperburuk ketimpangan sosial yang lebih luas.
Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menunjukkan bahwa sekitar 5,11% penduduk usia 15 tahun ke atas di pedesaan belum pernah mengenyam pendidikan formal, yang menunjukkan adanya ketimpangan pendidikan di Indonesia, terutama di daerah terpencil (rakyat.id).
Sementara itu, di kota-kota besar, meskipun akses terhadap pendidikan lebih terbuka, banyak mahasiswa yang harus berjuang keras untuk membayar biaya kuliah dan menyeimbangkan pekerjaan paruh waktu dengan studi mereka.