Hal ini senada dengan temuan Viktor Frankl, seorang psikiater sekaligus penyintas Holocaust, dalam bukunya Man's Search for Meaning (1946). Ia menyebut bahwa kebebasan terakhir manusia adalah memilih bagaimana kita merespons situasi, bahkan dalam keadaan paling sulit sekalipun.
Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Stoikisme?
1. Jangan Melawan Apa yang Tidak Bisa Dikontrol
Ketika sesuatu yang buruk terjadi misalnya, gagal dalam ujian, pekerjaan tidak berjalan lancar, atau rencana liburan hancur karena cuaca, stoikisme mengajarkan kita untuk bertanya "Apakah ini di bawah kendaliku?" Jika tidak, energi kita lebih baik diarahkan pada bagaimana merespons situasi tersebut.
Epictetus, salah satu filsuf stoik, mengatakan "It's not what happens to you, but how you react to it that matters." Ini bukan ajakan untuk menyerah, tetapi untuk menerima kenyataan dengan bijak dan mencari solusi yang lebih baik.
2. Fokus pada Tindakan, Bukan Hasil
Banyak orang merasa cemas karena terlalu terobsesi pada hasil akhir, nilai ujian, hasil wawancara kerja, atau pencapaian dalam hidup. Stoikisme mengingatkan bahwa hasil bukan sepenuhnya di bawah kendali kita. Yang bisa kita kontrol adalah usaha kita.
Misalnya, jika kamu sedang belajar untuk ujian, fokuslah pada proses belajar, bukan pada ketakutan apakah kamu akan mendapatkan nilai yang baik. Dengan begitu, kamu bisa mengurangi stres dan meningkatkan produktivitas.
3. Ingat bahwa Kehilangan adalah Bagian dari Hidup
Salah satu pelajaran paling mendalam dari stoikisme adalah menerima bahwa segala sesuatu bersifat sementara, termasuk orang-orang yang kita cintai. Filosofi ini mengajak kita untuk menikmati saat ini tanpa rasa takut akan kehilangan, tetapi juga mempersiapkan diri untuk melepaskan.
Dalam psikologi, konsep ini mirip dengan mindfulness, kesadaran penuh terhadap momen saat ini. Hal ini juga dapat membantu kita mengelola rasa sedih ketika menghadapi kehilangan, baik itu kehilangan pekerjaan, hubungan, atau bahkan orang terdekat.
Bagaimana Cara Menerapkan Stoikisme?
Berikut beberapa langkah sederhana untuk mulai mempraktikkan stoikisme dalam hidup:
1. Latih Penerimaan
Ketika menghadapi situasi sulit, cobalah bertanya pada dirimu sendiri "Apakah aku bisa mengontrol ini?" Jika tidak, fokuslah pada bagaimana kamu merespons situasi tersebut.
2. Lakukan Journaling
Marcus Aurelius sering menulis refleksi tentang hidupnya. Kamu juga bisa mencoba hal serupa, tuliskan apa yang kamu syukuri, apa yang bisa kamu perbaiki, dan bagaimana kamu bisa menghadapi tantangan dengan lebih tenang.
3. Renungkan Kemungkinan Terburuk
Dalam stoikisme, ada konsep yang disebut premeditatio malorum, membayangkan kemungkinan buruk sebelum sesuatu terjadi. Ini bukan untuk membuat kita pesimis, tetapi untuk mempersiapkan diri secara mental dan emosional.
4. Praktikkan Pengendalian Diri
Misalnya, ketika merasa marah, alih-alih langsung bereaksi, tarik napas dalam-dalam dan pikirkan konsekuensinya. Pengendalian emosi adalah salah satu inti dari stoikisme.
Sumber Bacaan yang Bisa Kamu Cek
Jika kamu ingin mempelajari stoikisme lebih lanjut, berikut beberapa sumber yang direkomendasikan:
- Meditations oleh Marcus Aurelius ditulis sekitar 161–180 M dan pertama kali diterbitkan dalam bentuk buku pada 1559, dengan edisi modern muncul pada abad ke-19 dan ke-20.
- Letters from a Stoic oleh Seneca ditulis antara 41–65 M dan diterbitkan pertama kali pada 1614, dengan edisi modern populer muncul pada abad ke-19.
- Discourses and Selected Writings oleh Epictetus ditulis sekitar 108 M dan pertama kali diterjemahkan serta diterbitkan pada 1700-an, dengan edisi-edisi modern lainnya muncul pada abad ke-19.
- Artikel penelitian dari Journal of Positive Psychology (2020) tentang stoikisme dan kesehatan mental.
Semua buku ini tersedia dalam edisi modern yang mudah dibaca, bahkan untuk orang awam. Jika kamu lebih suka konten digital, banyak juga video dan artikel di platform seperti Medium dan YouTube yang membahas stoikisme dengan gaya ringan dan praktis.