Mohon tunggu...
Narul Hasyim Muzadi
Narul Hasyim Muzadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Language education

Belajar mencoret

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tafsir Moral di Tengah Suara yang Bising

10 Desember 2024   18:41 Diperbarui: 10 Desember 2024   18:41 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi moral | Image by Kompas.id

Akhir-akhir ini, media sosial kembali diramaikan dengan viralnya seseorang yang dikenal sebagai penceramah, tapi tindakannya dianggap menunjukkan arogansi melalui kata-kata yang kurang pantas. Fenomena ini memancing banyak opini antara yang mendukung dan lebih banyak yang mengecam.

Tapi kali ini, saya tidak tertarik membahas benar atau salahnya peristiwa tersebut. Karena, setuju atau tidak, kita semua pernah menjadi pelaku. Seremeh apa pun, baik ucapan atau tindakan, ada kalanya kita menyakiti tanpa sadar, atau bahkan sengaja melakukannya.  

Apa yang terjadi di luar sana menjadi pengingat, moral adalah sesuatu yang sering kita anggap tahu, tetapi jarang benar-benar kita pahami. Moral, jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah ajaran tentang baik dan buruk yang diterima secara umum perihal sikap, perbuatan, atau kewajiban.

Sementara itu, Rudy Hidana dkk,. (2020) dalam buku "Etika Profesi dan Aspek Hukum Bidang Kesehatan" menjelaskan bahwa moral adalah hukum perilaku yang diterapkan kepada setiap individu dalam bersosialisasi, sehingga tercipta rasa hormat dan saling menghormati antar sesama. Tapi, apakah kita benar-benar sudah memahami esensi dari kata itu?  

Ada ironi di sini. Kita hidup di dunia yang semakin canggih, tetapi entah mengapa empati sering menjadi barang langka. Kata-kata yang seharusnya membawa kedamaian justru menjadi senjata.

Ucapan yang dianggap candaan ringan sering kali berakhir sebagai luka mendalam bagi mereka yang mendengarnya. Mungkin bagi kita, kata-kata itu tak berarti apa-apa. Tapi bagi orang lain, mereka adalah beban yang sulit terhapus.

Bayangkan seseorang yang setiap hari berjuang hanya untuk berdiri tegak, mungkin menghadapi kesulitan yang tidak kita ketahui entah itu kehilangan, tekanan, atau trauma masa lalu.

Kata-kata yang bagi kita sekadar gurauan bisa menjadi paku yang menancap di hatinya. Lalu, apa yang kita sebut "candaan" itu benar-benar pantas? Atau, apakah itu hanya topeng untuk membenarkan sikap tidak peduli kita?

Ini bukan tentang menuding atau menghitung kesalahan orang lain. Ini tentang diri kita sendiri. Setiap kita punya tanggung jawab untuk menakar ucapan dan tindakan. Tidak ada yang sempurna, tetapi itu bukan alasan untuk tidak mencoba.

Jika kita menyadari bahwa manusia berbeda-beda dalam menghadapi hidupnya, maka kita juga perlu memahami bahwa tidak semua orang punya kekuatan untuk menanggung kata-kata atau perlakuan buruk.

Kita sering lupa bahwa moral bukan hanya tentang teori. Melainkan praktik yang diwujudkan dalam sikap sehari-hari. Tidak perlu hal besar, kadang cukup dengan tidak menghakimi, tidak mengolok, atau bahkan sekadar mendengarkan tanpa menggurui. Tindakan sederhana seperti itu bisa menjadi perbedaan besar bagi orang lain.

Mungkin ada pertanyaan, mengapa kita harus peduli? Dunia ini sudah cukup keras. Tidakkah lebih mudah untuk ikut saja dalam arus?

Jawabannya sederhana, karena moral bukan tentang apa yang dunia ajarkan kepada kita, melainkan tentang bagaimana kita memilih untuk bertindak di dunia ini.  

Kisah seorang pelajar yang terus belajar meski menghadapi keterbatasan adalah contoh nyata. Ia mungkin tidak punya banyak, tapi ia berjuang untuk memiliki sesuatu yang lebih berharga, yakni ilmu dan budi.

Ia tidak menuntut belas kasih, tapi ia juga tidak menyerah pada hinaan. Perjuangan seperti ini adalah cerminan moral sejati, di mana penghormatan terhadap diri sendiri menjadi dasar untuk menghormati orang lain.

Perjuangan terbesar bukan melawan hinaan orang lain, tetapi melawan godaan untuk menjadi seperti mereka. Mudah sekali terjebak dalam lingkaran balas dendam atau rasa ingin membalas. Tapi itu bukanlah jalan yang memberi makna. Moral sejati adalah tetap memilih untuk baik, bahkan ketika dunia di sekitar kita lupa caranya.

Ketika kita berbicara tentang moral, kita sebenarnya sedang berbicara tentang harapan. Harapan bahwa meskipun dunia penuh dengan ketidaksempurnaan, masih ada ruang untuk kebaikan.

Harapan bahwa meskipun kita pernah salah, selalu ada kesempatan untuk memperbaiki diri. Harapan bahwa kata-kata kita, sekecil apa pun, bisa menjadi cahaya kecil di tengah kegelapan.

Jadi, mari kita berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri, apakah kata-kata dan tindakan kita membawa kebaikan atau justru menyakiti? Dan jika jawabannya adalah yang kedua, maka mungkin saatnya kita belajar kembali tentang moral. Bukan untuk orang lain, tetapi untuk diri kita sendiri.

Karena, dunia yang sering kali tak punya wajah empati ini tetap membutuhkan orang-orang yang memilih untuk peduli. Bukan mereka yang sempurna, tetapi mereka yang berusaha.

Bukan mereka yang tak pernah salah, tetapi mereka yang mau belajar dari kesalahan. Dunia ini mungkin tidak berubah sepenuhnya karena satu tindakan baik, tetapi itu tidak berarti tindakan kita tidak berarti.

Moral adalah cermin. Dan saat kita melihat ke dalamnya, semoga yang kita lihat bukan hanya refleksi dari diri kita, tetapi juga refleksi dari harapan yang kita bawa untuk dunia.

Pena Narr, Belajar Mencoret...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun