Rabu, (13/11/2024), pukul 16.00 WIB, menjadi momen yang cukup istimewa bagi kami, para mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Arab kelas C.
Di tengah kesibukan menjalani tugas-tugas akademik, kami melangkah ke Pondok Lansia Dinas Sosial Kota Malang, berbekal informasi yang datang dari salah satu dosen kami.
Meski hari itu penuh dengan tugas-tugas perkuliahan, ajakan silaturahmi ke pondok lansia ini terasa berbeda, ada panggilan hati yang mendorong kami untuk terlibat.
Informasi ini datang begitu saja di sela-sela perkuliahan. Dosen kami, di akhir pembahasan materi perkuliahan, tiba-tiba bertanya, "Adakah di antara kalian yang bisa membantu saya menjadi relawan untuk mengajarkan ngaji dan kajian keislaman bagi ibu-ibu yang baru saja diamankan di Pondok Lansia Dinsos ini?"
Permintaan itu terdengar sederhana, namun mengandung makna yang dalam. Meski tak banyak yang dijelaskan oleh dosen kami mengenai detail permasalahan yang dialami para ibu ini, kami tahu bahwa mereka memerlukan dukungan, dan kesempatan ini bisa menjadi bentuk pengabdian kecil kami untuk masyarakat.
Salah seorang dari kami, yang kebetulan juga seorang Pengajar Qur'ani dan Kajian Islami, memberikan saran agar sebelum memulai kegiatan, kami melakukan kunjungan silaturahmi dulu.
"Kita bisa perkenalan dulu dengan pihak Dinsos, sekalian mengetahui prosedur dan bagaimana metode pengajaran yang tepat nanti,"Â katanya.
Semua sepakat. Mengingat padatnya jadwal kami sebagai mahasiswa, guru, pengurus pondok, tutor, hingga pemateri, kunjungan awal ini penting untuk memastikan agar aktivitas mengajar nanti bisa dijalankan dengan baik.
Hari itu, kami disambut dengan ramah oleh pihak Dinsos. Para ibu yang menghuni pondok lansia itu menyambut kami dengan senyum yang tulus, namun kami dapat melihat gurat-gurat pengalaman hidup yang berat di wajah mereka.
Setelah perkenalan, kami pun mulai menyampaikan maksud kunjungan kami, mengajak mereka berbincang tentang pentingnya belajar Al-Qur'an, terutama surat Al-Fatihah, yang menjadi bagian dari rukun shalat.
Kami mulai dengan memperkenalkan metode Tahsin, cara sederhana namun efektif untuk memperbaiki bacaan Al-Qur'an. Salah satu tutor kami, yang sudah berpengalaman dalam mengajarkan Tahsin, memimpin sesi ini.
Beliau melafalkan surat Al-Fatihah dengan jelas, lalu mengajak para ibu mengikuti setiap ayat secara perlahan. Ada saat-saat di mana kami membagi mereka menjadi dua kelompok kecil untuk mempermudah proses pembelajaran.
Setiap kelompok menirukan bacaan secara bergantian, berusaha mengulang hingga terdengar lebih baik. Bagi kami, ini adalah aktivitas yang biasa dilakukan, tetapi hari itu terasa berbeda, karena ada semangat di dalam diri kami untuk benar-benar memberikan yang terbaik.
Di akhir sesi, salah satu dari para ibu mengangkat tangan dan bertanya dengan suara bergetar, "Bagaimana sih caranya ikhlas ketika kita ditimpa musibah seperti ini?"
Pertanyaan itu langsung menorehkan keheningan di antara kami. Sebuah pertanyaan yang mungkin tak mudah dijawab dengan kata-kata, namun sangat mewakili perasaan para ibu di sana.
Salah seorang dari kami, dengan tenang, memberikan jawaban sambil mengutip Surah Al-Baqarah ayat 216, yang artinya, "Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui."
Kami pun menjelaskan makna ayat ini dengan penuh kehati-hatian, mencoba menyampaikan bahwa setiap peristiwa yang menimpa seseorang pasti memiliki tujuan yang baik, meski tak selalu terlihat di awal.
"Ikhlas bukan berarti tidak merasakan sakit, bu," kata teman kami, "tapi meyakini bahwa Allah selalu memberi yang terbaik, meskipun terkadang sulit kita pahami."
Di sisi lain, seorang teman kami juga ikut menambahkan, "Belajar ikhlas itu memang tak mudah, bu, apalagi ketika hati kita masih dipenuhi oleh perasaan sedih. Tapi berlarut-larut dalam kesedihan hanya akan menambah beban mental, yang akhirnya membuat kita menjauh dari Allah.  Ada pepatah yang bilang, menaruh harapan kepada manusia hanya akan melukai kita jika kenyataan tak sesuai harapan. Tetapi Allah tak pernah mengecewakan hamba-Nya yang selalu bersandar pada-Nya."
Pembicaraan itu berjalan mengalir, penuh dengan kehangatan yang tak terduga. Meskipun kami tahu bahwa apa yang kami sampaikan hanyalah untaian kata-kata, namun kami berharap semoga ada kekuatan yang mampu tersampaikan melalui perkataan kami.
Kami sadar, masalah yang mereka hadapi jauh lebih besar dari apa yang kami ketahui, namun setidaknya kami ingin menjadi teman bagi mereka dalam mengurai sedikit dari beban yang mereka pikul.
Pertemuan itu berakhir dengan doa bersama. Kami saling menengadahkan tangan, memanjatkan harapan agar segala kesulitan yang sedang dialami dapat segera menemukan jalan keluar. Sebelum meninggalkan pondok, kami saling berpamitan dengan para ibu, memberikan senyuman sebagai tanda dukungan dan semangat.
Di perjalanan pulang, pikiran kami dipenuhi oleh refleksi mendalam tentang kehidupan. Ternyata, berbagi ilmu dan pengalaman bukan hanya sekadar aktivitas mengajar, tetapi juga belajar memahami arti dari keikhlasan dan ketulusan.
Pengalaman ini mengajarkan kami bahwa setiap manusia memiliki cara tersendiri untuk bertahan, dan kebaikan, sekecil apapun itu, tetaplah berarti. Kebaikan bukan soal besar atau kecilnya perbuatan, melainkan ketulusan di baliknya.
Kami mungkin tak akan pernah tahu seberapa besar dampak yang telah kami tinggalkan di hati mereka, tetapi hari itu menjadi pelajaran berharga bagi kami. Bahwa di tengah segala keterbatasan, selalu ada jalan untuk berbagi dan memberi arti, meskipun hanya lewat kunjungan singkat dan beberapa kata penghiburan.
Pena Narr, Belajar Mencoret...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H