1. Si Perfeksionis
Tipe ini merasa bahwa apapun yang dikerjakan harus sempurna. Orang dengan tipe ini sering merasa bahwa jika ada kesalahan kecil sekalipun, itu berarti mereka gagal. Mereka cenderung menetapkan standar yang sangat tinggi dan merasa tidak puas, meskipun hasil kerjanya sudah sangat baik. Akibatnya, mereka sering overthinking dan meremehkan pencapaiannya sendiri.
2. Si Superhero
Orang dengan tipe ini merasa bahwa mereka harus bisa melakukan segala hal dan menjadi yang terbaik di semua bidang. Mereka merasa harus bekerja lebih keras daripada orang lain untuk "membuktikan" diri. Sering kali, mereka merasa tidak kompeten jika tidak bisa menguasai semua hal, meskipun pada kenyataannya tidak ada yang meminta mereka untuk melakukan itu.
3. Si Ahli
Tipe ini selalu merasa perlu tahu segalanya sebelum bisa menganggap dirinya kompeten. Mereka terus-menerus mencari pengetahuan atau sertifikasi tambahan karena merasa belum cukup ahli. Meskipun sudah sangat berpengetahuan, mereka tetap meragukan kemampuan mereka sendiri dan sering merasa kurang siap.
4. Si Solois
Tipe ini merasa harus melakukan semuanya sendiri dan menolak meminta bantuan, karena jika meminta bantuan, mereka merasa itu tanda kelemahan. Mereka takut terlihat tidak kompeten jika menerima bantuan dari orang lain. Padahal, kolaborasi sering kali menjadi kunci kesuksesan.
5. Si Bakat Alami
Orang dengan tipe ini percaya bahwa kemampuan atau bakat harus datang dengan mudah. Jika mereka harus berusaha keras untuk sesuatu, mereka merasa itu adalah bukti bahwa mereka tidak berbakat atau tidak kompeten. Mereka cenderung meremehkan hasil yang didapatkan dengan usaha keras, karena menganggapnya "kurang alami".
Dampak yang Menggerogoti Diri
Perasaan terjebak dalam imposter syndrome tidak hanya membatasi diri, tapi juga bisa membuat kita kehilangan banyak kesempatan. Kita cenderung menarik diri dari tantangan baru atau kesempatan besar karena takut gagal.
Bukannya mengambil risiko dan menunjukkan kemampuan sebenarnya, kita memilih untuk bersembunyi di balik keraguan dan meremehkan diri sendiri. Akibatnya, potensi yang kita miliki tidak pernah benar-benar terlihat, bahkan oleh kita sendiri.
Selain itu, imposter syndrome dapat membebani kesehatan mental. Rasa cemas yang terus menerus, takut membuat kesalahan, dan pikiran bahwa "saya tidak cukup baik"Â bisa menjadi beban yang sangat berat.Â
Jika dibiarkan, ini bisa berubah menjadi stres kronis, bahkan depresi. Dan ironisnya, semakin kita merasa tidak pantas, semakin kita terjebak dalam lingkaran yang membuat kita sulit untuk keluar.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Mengatasi imposter syndrome bukanlah hal yang mudah, tetapi itu bukan berarti mustahil. Langkah pertama adalah menyadari bahwa perasaan tersebut ada, dan bahwa itu adalah pengalaman yang umum.
Jangan melihatnya sebagai tanda kelemahan, anggap saja ini sebagai bagian dari proses kita untuk menjadi lebih kuat dan lebih memahami diri sendiri. Mengakui bahwa kita sedang mengalami keraguan bukanlah tanda kegagalan, melainkan sebuah langkah menuju pemahaman yang lebih dalam tentang diri kita.
Langkah berikutnya adalah mengubah cara kita memandang pencapaian. Bukannya terus menerus meragukan hasil kerja keras kita, cobalah untuk melihat apa yang sudah kita lakukan dan bagaimana itu berkontribusi pada pencapaian kita.
Mungkin membantu untuk menuliskan pencapaian-pencapaian kecil maupun besar yang sudah kita raih. Ini bisa menjadi pengingat bahwa kesuksesan kita bukan datang dari keberuntungan belaka, tetapi dari usaha dan dedikasi yang telah kita curahkan.
Terakhir, berbicara dengan orang lain juga bisa menjadi cara yang sangat efektif untuk meredakan perasaan ini. Kadang-kadang, mendengar perspektif orang lain bisa membantu kita melihat betapa jauhnya kita telah melangkah.
Bicarakan perasaan kamu dengan teman, mentor, atau bahkan profesional yang dapat memberikan pandangan yang lebih objektif. Mereka mungkin bisa melihat sesuatu yang kamu lewatkan, dan membantu kamu membangun kembali kepercayaan diri yang sempat pudar.