Mohon tunggu...
Narul Hasyim Muzadi
Narul Hasyim Muzadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Language education

Belajar mencoret

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Inklusivitas yang Salah Kaprah, Apakah Masyarakat Siap untuk Benar-Benar Terbuka?

23 September 2024   00:05 Diperbarui: 23 September 2024   00:12 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi inklusivitas | Image by Satuguru.id/Abah Dede

Dalam beberapa tahun terakhir, inklusivitas telah menjadi salah satu kata kunci dalam berbagai diskusi sosial.

Dari dunia pendidikan hingga tempat kerja, kampanye inklusivitas terus menggema, mendorong masyarakat untuk lebih terbuka dan menerima perbedaan.

Namun, apakah kita benar-benar memahami apa itu inklusivitas? Ataukah justru terjadi salah kaprah di mana istilah ini digunakan sebagai alat pembenaran, tanpa perubahan fundamental yang berarti?

Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan isu-isu sosial seperti diskriminasi, hak asasi manusia, dan keadilan sosial, istilah inklusivitas sering kali menjadi semacam standar moral baru yang diharapkan diikuti semua orang.

Namun, di balik seruan untuk menjadi lebih inklusif, ada dinamika yang sering kali terabaikan. Masyarakat kita, meskipun ingin terlihat inklusif, terkadang hanya mengadopsi inklusivitas secara permukaan tanpa memahami makna sejatinya.

Inklusivitas, Apa yang Salah Kaprah?

Banyak orang menganggap bahwa inklusivitas adalah tentang menerima semua orang apa adanya, tanpa memedulikan siapa mereka dan dari mana asalnya. Pada level dasar, itu benar.

Tetapi jika hanya sekadar penerimaan, apakah itu cukup? Sering kali, inklusivitas dianggap sebagai upaya untuk menghindari konflik dan ketidaknyamanan. Misalnya, di tempat kerja, kebijakan inklusif mungkin diterapkan dengan tujuan agar semua orang merasa diterima dan dihargai.

Tetapi apakah kebijakan tersebut benar-benar mencerminkan keterbukaan untuk menerima sudut pandang yang berbeda? Atau hanya sekadar retorika untuk memenuhi ekspektasi sosial?

Contoh paling nyata dari inklusivitas yang salah kaprah dapat kita lihat dalam gerakan media sosial. Banyak perusahaan, institusi, dan individu yang secara terbuka menyuarakan dukungan terhadap keberagaman dan inklusivitas, terutama di momen-momen krisis sosial atau gerakan global seperti Black Lives Matter atau Pride Month.

Namun, setelah momentum itu berlalu, sering kali kita tidak melihat tindakan lanjutan yang konkret. Apakah itu inklusivitas yang sejati, atau hanya sebuah pencitraan?

Inklusivitas yang Sejati, Lebih dari Sekadar Toleransi

Jika inklusivitas yang salah kaprah cenderung berfokus pada simbolisme atau tindakan permukaan, inklusivitas yang sejati harus melampaui toleransi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun