Dalam beberapa tahun terakhir, inklusivitas telah menjadi salah satu kata kunci dalam berbagai diskusi sosial.
Dari dunia pendidikan hingga tempat kerja, kampanye inklusivitas terus menggema, mendorong masyarakat untuk lebih terbuka dan menerima perbedaan.
Namun, apakah kita benar-benar memahami apa itu inklusivitas? Ataukah justru terjadi salah kaprah di mana istilah ini digunakan sebagai alat pembenaran, tanpa perubahan fundamental yang berarti?
Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan isu-isu sosial seperti diskriminasi, hak asasi manusia, dan keadilan sosial, istilah inklusivitas sering kali menjadi semacam standar moral baru yang diharapkan diikuti semua orang.
Namun, di balik seruan untuk menjadi lebih inklusif, ada dinamika yang sering kali terabaikan. Masyarakat kita, meskipun ingin terlihat inklusif, terkadang hanya mengadopsi inklusivitas secara permukaan tanpa memahami makna sejatinya.
Inklusivitas, Apa yang Salah Kaprah?
Banyak orang menganggap bahwa inklusivitas adalah tentang menerima semua orang apa adanya, tanpa memedulikan siapa mereka dan dari mana asalnya. Pada level dasar, itu benar.
Tetapi jika hanya sekadar penerimaan, apakah itu cukup? Sering kali, inklusivitas dianggap sebagai upaya untuk menghindari konflik dan ketidaknyamanan. Misalnya, di tempat kerja, kebijakan inklusif mungkin diterapkan dengan tujuan agar semua orang merasa diterima dan dihargai.
Tetapi apakah kebijakan tersebut benar-benar mencerminkan keterbukaan untuk menerima sudut pandang yang berbeda? Atau hanya sekadar retorika untuk memenuhi ekspektasi sosial?
Contoh paling nyata dari inklusivitas yang salah kaprah dapat kita lihat dalam gerakan media sosial. Banyak perusahaan, institusi, dan individu yang secara terbuka menyuarakan dukungan terhadap keberagaman dan inklusivitas, terutama di momen-momen krisis sosial atau gerakan global seperti Black Lives Matter atau Pride Month.
Namun, setelah momentum itu berlalu, sering kali kita tidak melihat tindakan lanjutan yang konkret. Apakah itu inklusivitas yang sejati, atau hanya sebuah pencitraan?
Inklusivitas yang Sejati, Lebih dari Sekadar Toleransi
Jika inklusivitas yang salah kaprah cenderung berfokus pada simbolisme atau tindakan permukaan, inklusivitas yang sejati harus melampaui toleransi.