Refleksi terhadap penerimaan diri.....
Malam itu, sekitar pukul delapan, kami duduk di sebuah kedai kopi yang terletak di sudut kota. Lampu-lampu temaram yang menghiasi langit-langit memberikan suasana hangat, meskipun di luar udara malam mulai terasa dingin.
Di meja kami, ada beberapa cangkir kopi yang sudah mulai mendingin, sementara di layar laptop masing-masing, tugas-tugas kuliah terlihat menumpuk. Kami, aku dan beberapa teman, sering menjadikan kedai ini sebagai tempat untuk berkumpul dan berdiskusi. Namun, malam itu, topik pembicaraan melenceng dari tugas kuliah. Kami membicarakan sesuatu yang lebih mendalam.
"Apa sih yang bikin kita sering merasa nggak pantas berada di lingkungan tertentu?" tanya salah satu temanku, sebut saja RK, sambil menatap laptopnya yang terbuka. Pertanyaan itu seakan mengundang suasana diskusi yang lebih serius, membuat kami semua terdiam sejenak, merenung.
"Kadang aku juga mikir gitu," ujar SR, sahabatku yang duduk di sebelahku. Ia menutup laptopnya, mengalihkan perhatian ke kami. "Kayak, di lingkungan kampus ini, banyak banget orang yang kelihatan lebih sukses, lebih percaya diri, lebih... apa ya, punya segalanya. Terus, kita jadi ngerasa kecil."
Aku mengangguk setuju. Di antara hiruk-pikuk kesibukan kampus, tidak jarang aku merasa seperti orang asing. Mereka yang terlihat berhasil dengan proyek-proyek besar atau koneksi yang kuat sering membuatku mempertanyakan apakah aku benar-benar layak berada di sini.
RK, yang biasanya paling optimis di antara kami, kali ini juga terlihat lebih serius. "Tapi, sebenarnya siapa yang menetapkan kita pantas atau enggak? Bukannya itu Cuma pikiran kita aja? Mungkin kita sendiri yang terlalu keras sama diri kita."
Obrolan mulai mengarah pada bagaimana masing-masing dari kami merasakan hal yang serupa. Ternyata, rasa tidak pantas atau kurang percaya diri itu bukan hanya dialami oleh satu atau dua orang, tetapi hampir semua dari kami pernah mengalaminya.
"Ya, tapi gimana ya? Kadang, lingkungan ini bikin kita kayak tersingkir. Misalnya, pas ngobrol sama teman-teman lain yang udah banyak prestasi, terus aku malah Cuma diem aja karena nggak tau harus ngomong apa," ucap DS sambil mengaduk kopi di depannya. Ia memang dikenal sebagai salah satu yang paling pendiam di kelompok kami, dan malam itu ia terlihat sedang memikirkan sesuatu yang cukup berat.
SR yang duduk di sebelahku menghela napas panjang. "Aku ngerti banget perasaan itu. Apalagi kalau udah lihat media sosial, kayaknya semua orang punya pencapaian yang besar. Mereka udah berhasil bikin bisnis sendiri, magang di perusahaan besar, atau ikut konferensi internasional. Sedangkan aku... Cuma sibuk ngerjain tugas."
Diskusi itu semakin dalam, dan kami mulai menyadari bahwa masalahnya bukan sekadar tentang lingkungan sosial yang besar atau menantang. Sering kali, masalahnya ada pada cara kami memandang diri sendiri. Aku, SR, RK, dan DS kami semua terjebak dalam pemikiran yang terlalu berfokus pada pencapaian orang lain, sampai-sampai lupa menghargai apa yang sudah kami capai.