"Kadang kita emang terlalu fokus ke apa yang belum kita capai, sampai lupa kalau kita juga udah banyak melakukan hal-hal yang berharga," kataku akhirnya, mencoba merangkum perasaan yang mulai mengarah pada titik terang. "Tapi, jujur aja, aku juga sering merasa nggak cukup baik."
RK tersenyum tipis, mengangkat cangkir kopinya yang sudah tinggal setengah. "Semua orang punya jalannya masing-masing, kan? Mungkin yang kita lihat di orang lain Cuma bagian bagusnya aja, nggak tahu proses berat yang mereka lalui. Tapi yang jelas, kita semua berhak ada di sini."
DS mengangguk setuju. "Iya, bener. Aku kadang terlalu fokus ke prestasi orang lain dan lupa kalau mungkin mereka juga punya kegagalan yang nggak aku lihat. Kayaknya, kita harus lebih fokus ke diri kita sendiri."
Percakapan malam itu tidak lagi terasa seperti diskusi kuliah biasa. Kami mulai membuka diri tentang perasaan-perasaan yang selama ini mungkin terpendam. Tentang rasa minder, tentang membandingkan diri dengan orang lain, dan tentang bagaimana kami menilai diri sendiri di tengah lingkungan yang tampaknya penuh dengan prestasi dan kesuksesan.
Suasana kedai kopi semakin lengang. Beberapa pengunjung mulai meninggalkan tempat, dan hanya segelintir orang yang masih bertahan. Musik pelan yang mengalun di latar belakang seolah menjadi pengiring obrolan kami. Aku merasakan bahwa malam ini, bukan hanya tugas kuliah yang sedang kami selesaikan, tapi juga tugas untuk memahami diri sendiri lebih baik.
"Kalian pernah nggak sih ngerasa kayak di acara kampus, ngobrol sama orang-orang yang udah bikin startup atau penelitian besar, terus kita malah ngerasa kecil banget?" tanyaku, mencoba membagikan pengalaman yang juga sering kurasakan.
SR tertawa kecil. "Aku sering banget. Padahal, ya kalau dipikir-pikir, pencapaian kita nggak kurang juga. Cuma karena nggak se-'wow' mereka, kita jadi minder."
RK, yang dari tadi lebih banyak mendengarkan, akhirnya ikut berbicara lagi. "Ya, mungkin karena kita membandingkan diri dengan standar yang nggak relevan sama kehidupan kita. Sukses itu kan nggak harus selalu diukur dari proyek besar atau bisnis yang menghasilkan banyak uang."
Obrolan kami berlanjut dengan diskusi tentang bagaimana seharusnya kami memandang diri sendiri. Bahwa setiap orang memiliki standar sukses yang berbeda, dan bahwa setiap orang berhak untuk berada di tempat mereka saat ini, tidak peduli seberapa besar atau kecil pencapaian mereka.
"Sebenarnya, yang penting itu bukan seberapa besar pencapaian kita dibanding orang lain, tapi seberapa jauh kita berkembang dari diri kita yang dulu," ujar SR sambil tersenyum. "Aku yakin, kita semua udah banyak berkembang, hanya saja kadang kita terlalu keras sama diri sendiri."
Perkataan SR membuatku merenung. Mungkin benar, masalahnya bukan pada lingkungan sosial yang seolah berada di luar jangkauan kami, tetapi pada cara kami memandang diri sendiri. Kami berhak berada di sini, di tengah-tengah orang-orang yang tampaknya lebih hebat, karena setiap perjalanan hidup memiliki ritme dan jalannya masing-masing.