Mohon tunggu...
Narul Hasyim Muzadi
Narul Hasyim Muzadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Language education

Belajar mencoret

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Diam yang Memekakkan, Ketika Suara Perempuan Terkubur dalam Ruang Publik

19 September 2024   21:10 Diperbarui: 19 September 2024   21:13 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: World Economic Forum, Global Gender Gap Index, 2023

Pada era yang seharusnya dipenuhi oleh kemajuan dan keterbukaan, suara perempuan masih sering kali tersisih dalam ruang-ruang publik yang seharusnya inklusif.

Tidak hanya di negara-negara berkembang, bahkan di negara maju sekalipun, eksistensi perempuan dalam diskursus publik sering kali hanya sebatas formalitas, sementara pengaruh nyata mereka dalam proses pengambilan keputusan jauh dari signifikan.

Fenomena ini bukanlah hasil dari ketidakmampuan perempuan berbicara, melainkan dari berbagai hambatan struktural, budaya, dan sosial yang membuat suara mereka seakan terkubur dalam "diam" yang memekakkan.

Ruang Publik, Medan yang Tidak Setara

Ruang publik, sejak lama, telah didominasi oleh laki-laki. Baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial, laki-laki selalu memegang posisi sentral, sementara perempuan harus berjuang keras untuk mendapatkan tempat di meja diskusi.

World Economic Forum mencatat bahwa hingga 2023, perempuan hanya menempati sekitar 22.1% kursi parlemen di seluruh dunia [1] . Ini bukan hanya angka, tetapi refleksi ketidaksetaraan yang sistematis, di mana perempuan masih sering dianggap tidak layak untuk menjadi pengambil keputusan pada level tertinggi.

Source: World Economic Forum, Global Gender Gap Index, 2023
Source: World Economic Forum, Global Gender Gap Index, 2023

Di banyak masyarakat, perempuan masih dibebani oleh ekspektasi sosial yang mengharuskan mereka untuk memprioritaskan peran domestik daripada publik. Mereka didorong untuk menjadi ibu, istri, dan penjaga rumah tangga terlebih dahulu, sebelum berpikir tentang karier atau ambisi di luar itu.

Padahal, potensi mereka dalam berbagai bidang sering kali sama, bahkan lebih unggul dibandingkan laki-laki. Namun, budaya patriarki yang mengakar kuat menjadikan kontribusi perempuan di ranah publik sering kali terpinggirkan.

Stigma Perempuan di Dunia Kerja

Tidak hanya dalam ranah politik, diskriminasi terhadap perempuan juga terlihat jelas dalam dunia kerja. Meski jumlah perempuan yang bekerja terus meningkat, posisi-posisi strategis di puncak hierarki perusahaan masih didominasi oleh laki-laki.

UN Women melaporkan bahwa hanya 29,3% posisi manajerial di seluruh dunia ditempati oleh perempuan. Hal ini mencerminkan kesenjangan yang tajam antara jumlah perempuan yang bekerja dan kesempatan mereka untuk memimpin.

Kendati memiliki keterampilan dan pendidikan yang setara, perempuan kerap kali ditempatkan di posisi yang tidak strategis atau dianggap sebagai "pekerja pendukung". Di banyak sektor, seperti pendidikan dan kesehatan, perempuan mendominasi, namun sektor-sektor ini sering kali dianggap kurang prestisius dan kurang berpengaruh terhadap kebijakan publik yang lebih besar.

Akibatnya, meskipun mereka memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, suara mereka tetap kurang diakui dalam diskusi-diskusi besar mengenai ekonomi dan politik.

Kekerasan Berbasis Gender, Taktik Membungkam yang Kasar

Salah satu hambatan terbesar yang membungkam suara perempuan adalah kekerasan berbasis gender. Di seluruh dunia, perempuan menghadapi ancaman kekerasan, baik fisik maupun psikologis, yang menghalangi mereka untuk berpartisipasi secara penuh di ruang publik.

Kekerasan ini bisa datang dalam bentuk pelecehan seksual, intimidasi, hingga kekerasan domestik, yang semuanya menciptakan lingkungan yang tidak aman bagi perempuan untuk berbicara.

Di dunia maya, masalah ini bahkan lebih akut. Pew Research Center menemukan bahwa 41% perempuan di Amerika Serikat pernah mengalami pelecehan online, termasuk ancaman kekerasan fisik dan pelecehan seksual [2].

Source: Pew Research Center
Source: Pew Research Center

Di Indonesia, laporan dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kasus kekerasan berbasis gender masih terus meningkat. Pada tahun 2022 saja, tercatat lebih dari 11.000 kasus kekerasan seksual, banyak di antaranya terjadi di kampus, tempat kerja, atau ruang publik lainnya [3].

Ketakutan akan stigma, penolakan, dan tidak adanya dukungan hukum yang kuat membuat perempuan sering kali memilih diam daripada berbicara.

Suara yang Terkubur di Media Sosial

Selain di dunia nyata, suara perempuan juga sering kali tenggelam di platform digital. Meski media sosial menawarkan ruang yang lebih demokratis, kenyataannya perempuan sering kali terpinggirkan dalam percakapan online.

Algoritma di media sosial sering kali mengutamakan konten viral yang sensasional, sehingga diskusi serius mengenai isu-isu perempuan kurang mendapat perhatian.

Di samping itu, banyak perempuan yang berani mengangkat isu-isu sensitif, seperti kekerasan berbasis gender atau hak-hak reproduksi, diintimidasi atau dilecehkan oleh pengguna lain, sehingga mereka terpaksa menghapus konten atau bahkan menutup akun mereka.

Ilustrasi isu perempuan di sosial media |Image by AdobeStock 
Ilustrasi isu perempuan di sosial media |Image by AdobeStock 

Fenomena ini memperlihatkan bahwa meskipun media sosial membuka akses bagi perempuan untuk bersuara, mereka tetap menghadapi risiko besar. Tanpa dukungan dari platform dan masyarakat luas, perempuan yang berbicara tentang isu-isu penting sering kali merasa bahwa suara mereka tidak dihargai, atau bahkan berpotensi mendatangkan bahaya.

Oxford Internet Institute mencatat bahwa perempuan yang aktif di media sosial sering kali lebih rentan terhadap serangan online dibandingkan laki-laki, terutama jika mereka berbicara tentang isu-isu yang dianggap kontroversial.

Perlawanan Melalui Gerakan Sosial

Meskipun berbagai hambatan menghadang, gerakan perempuan di seluruh dunia terus berusaha untuk memecah kebisuan ini. Gerakan #MeToo menjadi salah satu contoh paling nyata bagaimana perempuan di seluruh dunia mulai berani berbicara tentang kekerasan seksual yang mereka alami.

Ilustrasi gerakan #MeToo | Image by Bbc News Indonesia
Ilustrasi gerakan #MeToo | Image by Bbc News Indonesia

Di Indonesia, gerakan #NamaBaikKampus juga berhasil membuka ruang bagi mahasiswa perempuan untuk melaporkan kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan akademik, meskipun mereka harus menghadapi tekanan dari berbagai pihak.

Ilistrasi gerakan #NamaBaikKampus | Image by Koran Tempo
Ilistrasi gerakan #NamaBaikKampus | Image by Koran Tempo

Selain itu, semakin banyak organisasi yang mendorong perempuan untuk menduduki posisi-posisi kepemimpinan dan pengambilan keputusan. Kebijakan affirmative action dan program pelatihan kepemimpinan perempuan telah diterapkan di banyak negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses yang setara ke posisi-posisi strategis.

Upaya ini diharapkan dapat memberikan ruang yang lebih luas bagi perempuan untuk berbicara dan berkontribusi dalam diskusi-diskusi publik.

Menjadi Pemimpin dalam Narasi Sendiri

Suara perempuan, meskipun sering kali terpendam, tidak pernah benar-benar hilang. Mereka terus berjuang untuk didengar, bahkan ketika dunia mencoba membungkam mereka.

Perempuan tidak hanya berbicara untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk generasi mendatang yang akan mewarisi dunia ini. Ketika mereka berbicara, mereka membawa narasi baru yang menantang struktur yang telah ada selama berabad-abad.

Sebagai masyarakat, kita harus lebih banyak mendengar. Jika kita terus membiarkan suara perempuan terkubur dalam kebisuan yang memekakkan, kita tidak hanya kehilangan perspektif yang berharga, tetapi juga potensi besar untuk menciptakan dunia yang lebih inklusif, adil, dan seimbang.

Karena diam perempuan bukanlah tanda ketidakberdayaan; itu adalah tanda bahwa dunia belum sepenuhnya siap untuk mendengar suara yang begitu kuat, jujur, dan revolusioner.

Sumber:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun