Fenomena ini memperlihatkan bahwa meskipun media sosial membuka akses bagi perempuan untuk bersuara, mereka tetap menghadapi risiko besar. Tanpa dukungan dari platform dan masyarakat luas, perempuan yang berbicara tentang isu-isu penting sering kali merasa bahwa suara mereka tidak dihargai, atau bahkan berpotensi mendatangkan bahaya.
Oxford Internet Institute mencatat bahwa perempuan yang aktif di media sosial sering kali lebih rentan terhadap serangan online dibandingkan laki-laki, terutama jika mereka berbicara tentang isu-isu yang dianggap kontroversial.
Perlawanan Melalui Gerakan Sosial
Meskipun berbagai hambatan menghadang, gerakan perempuan di seluruh dunia terus berusaha untuk memecah kebisuan ini. Gerakan #MeToo menjadi salah satu contoh paling nyata bagaimana perempuan di seluruh dunia mulai berani berbicara tentang kekerasan seksual yang mereka alami.
Di Indonesia, gerakan #NamaBaikKampus juga berhasil membuka ruang bagi mahasiswa perempuan untuk melaporkan kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan akademik, meskipun mereka harus menghadapi tekanan dari berbagai pihak.
Selain itu, semakin banyak organisasi yang mendorong perempuan untuk menduduki posisi-posisi kepemimpinan dan pengambilan keputusan. Kebijakan affirmative action dan program pelatihan kepemimpinan perempuan telah diterapkan di banyak negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses yang setara ke posisi-posisi strategis.
Upaya ini diharapkan dapat memberikan ruang yang lebih luas bagi perempuan untuk berbicara dan berkontribusi dalam diskusi-diskusi publik.
Menjadi Pemimpin dalam Narasi Sendiri
Suara perempuan, meskipun sering kali terpendam, tidak pernah benar-benar hilang. Mereka terus berjuang untuk didengar, bahkan ketika dunia mencoba membungkam mereka.
Perempuan tidak hanya berbicara untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk generasi mendatang yang akan mewarisi dunia ini. Ketika mereka berbicara, mereka membawa narasi baru yang menantang struktur yang telah ada selama berabad-abad.