Mohon tunggu...
Narul Hasyim Muzadi
Narul Hasyim Muzadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Language education

Belajar mencoret

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Artikel Utama

Normalisasi Vulgaritas di Media Sosial, Dampak Istilah-Istilah Seksis dan Labeling yang Meresahkan

7 September 2024   18:42 Diperbarui: 8 September 2024   06:57 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi vulgaritas | Image by KBBI | Lektur.ID

Pernahkah Anda saat berselancar di media sosial, tiba-tiba melihat komentar yang membuat Anda terdiam sejenak? Istilah-istilah seperti "rahim anget", "tobrut", atau "aura maghrib" kerap muncul di kolom komentar terutama pada unggahan viral. Mungkin awalnya istilah-istilah tersebut terasa menggelitik dan mengundang tawa karena keunikannya.

Namun, coba pikirkan kembali, apakah penggunaan istilah-istilah semacam ini sebenarnya pantas? Apalagi jika konteksnya adalah komentar terhadap penampilan seseorang atau pernyataan bernada seksis.

Media sosial memang memberikan kebebasan berpendapat, tetapi ketika vulgaritas dan seksisme dianggap lumrah, kita patut mempertanyakan arah budaya komunikasi yang sedang terbentuk ini.

Istilah Seksis yang Menyesatkan

Istilah-istilah seperti "rahim anget" atau "tobrut" mungkin terdengar asing bagi sebagian orang, namun bagi yang sering menghabiskan waktu di media sosial, istilah ini bukanlah hal baru.

Kalimat-kalimat ini biasanya muncul dalam konteks menggambarkan ketertarikan yang berlebihan terhadap penampilan seseorang, dengan nada yang merendahkan dan mengobjektifikasi. Lucunya, alih-alih merasa terganggu, banyak orang yang malah tertawa dan menganggapnya sebagai lelucon.

Kebiasaan menggunakan bahasa seperti ini menciptakan suasana di mana vulgaritas dianggap sebagai sesuatu yang normal. Padahal, jika kita telaah lebih dalam, apa yang diistilahkan sebagai "rahim anget" atau "tobrut" adalah bentuk lain dari komentar seksis yang memandang tubuh perempuan sebagai objek semata.

Sama halnya dengan istilah "aura maghrib" yang menyiratkan makna negatif terhadap perempuan dengan menilai mereka dari fisik atau penampilan luar, seringkali dikaitkan dengan stereotip gender yang sempit.

Mengapa Ini Berbahaya?

Penggunaan istilah-istilah seksis dan vulgar di media sosial mungkin tampak sepele bagi sebagian orang. Namun, jika dibiarkan, hal ini berpotensi membentuk persepsi sosial yang salah tentang bagaimana kita memperlakukan satu sama lain, terutama dalam hal gender.

Ketika istilah-istilah seperti ini dibiarkan berkembang, orang-orang terutama anak muda mulai terbiasa dengan pola pikir yang merendahkan perempuan dan menganggapnya sebagai bagian dari humor yang "biasa saja".

Ini berpotensi memicu normalisasi budaya misoginis yang memperkuat ketidaksetaraan gender di masyarakat. Dalam jangka panjang, cara kita berkomunikasi di media sosial berpengaruh pada cara kita berinteraksi di dunia nyata.

Selain itu, vulgaritas di ruang publik juga dapat memperkuat citra negatif tentang peran perempuan di masyarakat. Stereotip seperti ini sering kali menempatkan perempuan dalam posisi subordinat, di mana tubuh dan seksualitas mereka selalu menjadi bahan perbincangan yang tak ada habisnya.

Apakah ini adil? Tentu tidak. Seksisme seperti ini justru mengabaikan kontribusi perempuan di luar fisik mereka dan merendahkan eksistensi mereka sebagai individu.

Labeling yang Tak Kalah Menyakitkan

Tidak hanya istilah-istilah vulgar yang menjadi masalah di media sosial, tetapi juga praktik labeling yang sering kali menyertai mereka. Labeling, atau memberikan cap tertentu kepada seseorang berdasarkan penampilan atau perilaku mereka, semakin marak di media sosial. Istilah-istilah seperti "the nuruls" sering kali muncul untuk mengomentari seseorang dengan cara yang merendahkan atau menghina.

Praktik labeling ini sering kali terjadi tanpa refleksi yang mendalam. Orang-orang dengan mudah melontarkan komentar negatif atau menghina seseorang hanya karena mereka berbeda atau tidak sesuai dengan standar sosial yang diterima mayoritas.

Media sosial telah menciptakan budaya di mana orang merasa bebas untuk melabeli orang lain dengan kata-kata yang tajam dan tanpa rasa bersalah. Lebih dari itu, pengguna media sosial yang mengkonsumsi konten ini lambat laun terbiasa dengan pola komunikasi yang kasar, dan ini mengikis empati serta kesadaran akan batasan-batasan etika.

Anonimitas dan Kurangnya Akuntabilitas

Salah satu alasan mengapa vulgaritas dan seksisme begitu mudah berkembang di media sosial adalah karena pengguna sering merasa aman di balik layar. Anonimitas yang ditawarkan oleh platform-platform ini memungkinkan seseorang untuk mengatakan apa saja tanpa khawatir tentang konsekuensi.

Fenomena ini menciptakan lingkungan di mana orang merasa bebas untuk mengungkapkan komentar vulgar atau seksis, tanpa mempertimbangkan dampaknya pada orang lain. Tanpa akuntabilitas yang jelas, tindakan-tindakan semacam ini terus berulang, menciptakan siklus yang sulit diputus.

Dampak Jangka Panjang pada Psikologi dan Budaya Sosial

Dampak dari normalisasi vulgaritas di media sosial tidak hanya sebatas pada bagaimana kita berbicara satu sama lain. Ini juga berpotensi merusak kesehatan mental banyak orang. Mereka yang menjadi korban komentar seksis atau vulgar mungkin merasa tertekan, malu, atau tidak nyaman dengan tubuh mereka sendiri. Rasa tidak aman ini dapat mempengaruhi harga diri dan citra diri seseorang dalam jangka panjang.

Di tingkat yang lebih luas, normalisasi vulgaritas dan seksisme di media sosial juga mempengaruhi budaya sosial kita. Ini menciptakan generasi yang terbiasa dengan kekasaran dan kurangnya penghargaan terhadap martabat individu. Jika kita tidak segera menyadari bahaya ini, kita berisiko membentuk masyarakat yang tidak lagi menghargai batasan-batasan moral dan etika dalam berkomunikasi.

Langkah untuk Menyadari dan Mengubah

Pertanyaannya adalah, bagaimana kita mengatasi fenomena ini? 

Pertama-tama, kesadaran akan dampak negatif dari penggunaan istilah-istilah vulgar dan seksis perlu ditingkatkan. Masyarakat, terutama pengguna media sosial, harus memahami bahwa kata-kata yang mereka gunakan memiliki kekuatan dan dapat mempengaruhi orang lain secara signifikan.

Kedua, platform media sosial perlu mengambil tindakan lebih tegas terhadap komentar-komentar yang vulgar dan merendahkan. Algoritma yang mampu mendeteksi bahasa yang tidak pantas harus ditingkatkan, dan ada konsekuensi yang jelas bagi mereka yang terus melanggar aturan ini.

Dan yang terakhir, kita sebagai individu memiliki peran besar dalam merubah budaya ini. Mulailah dari diri sendiri. Pilihlah kata-kata dengan bijak, sadarilah bahwa humor tidak harus merendahkan orang lain, dan berhentilah ikut-ikutan menggunakan istilah-istilah yang tidak menghormati martabat seseorang. Sebab, perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil.

Dengan kesadaran dan usaha bersama, kita bisa menciptakan media sosial yang lebih sehat, penuh dengan empati, dan bebas dari vulgaritas yang meresahkan.

Pena Narr, Belajar Mencoret... 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun