Ditulisan kali ini, saya akan berbagi kisah tentang keresahan yang mungkin bisa relate dengan teman-teman sekalian.
Berawal dari...
Setiap kali saya berkumpul dengan keluarga atau teman-teman tongkrongan, ada satu pertanyaan yang selalu terlontar "Kapan menikah?" Pada titik ini, pertanyaan tersebut bukanlah sesuatu yang mengejutkan, mengingat usia saya yang telah memasuki fase yang dianggap "ideal" untuk menikah.
Saya sering kali hanya tersenyum dan tertawa kecil, berusaha menanggapi dengan santai, meskipun dalam hati, saya merasakan pergolakan yang cukup besar. Siapa sih yang tidak ingin menjalin hubungan yang serius, menemukan pasangan hidup, dan membangun keluarga? Namun, kekhawatiran yang saya rasakan saat ini jauh lebih kompleks daripada sekadar keinginan untuk menikah.
"Kapan menikah?"Â bukan hanya pertanyaan tentang waktu. Bagi saya, ini adalah pertanyaan tentang kesiapan emosional, finansial, dan mental. Saat ini, hidup saya penuh dengan berbagai tanggung jawab yang belum bisa saya abaikan begitu saja.
Menyelesaikan pendidikan S2 tepat waktu adalah prioritas utama saya. Bukan hanya karena keinginan pribadi untuk mencapai prestasi akademis, tetapi juga karena ini adalah batu loncatan untuk masa depan yang lebih baik, baik untuk diri saya sendiri maupun keluarga saya.
Selain itu, ada tanggung jawab finansial yang harus saya pikirkan. Saya memiliki adik yang akan memasuki jenjang kuliah, dan sebagai kakak, saya merasa berkewajiban untuk memastikan dia mendapatkan pendidikan yang layak.
Biaya kuliah bukanlah hal yang ringan, dan saya perlu memperhitungkan dengan matang bagaimana saya bisa membantu tanpa mengorbankan stabilitas keuangan saya sendiri. Belum lagi, ada juga kiriman rutin untuk keluarga yang harus saya penuhi, sebuah tanggung jawab yang tidak bisa saya abaikan.
Dalam konteks ini, menjalin hubungan asmara sering kali terasa seperti sebuah beban tambahan, bukan karena saya tidak ingin atau tidak siap untuk berbagi hidup dengan orang lain, tetapi karena ada kekhawatiran besar yang melanda ketika memikirkan tentang kepastian.
Pasangan, wajar jika mereka menginginkan kepastian tentang masa depan, tentang kapan hubungan ini akan dibawa ke jenjang yang lebih serius (pernikahan). Tetapi bagaimana saya bisa memberikan kepastian itu ketika diri saya sendiri masih tenggelam dalam berbagai urusan dan pikiran yang belum terselesaikan?
Menikah bukan hanya soal "kapan" tetapi juga soal "bagaimana". Bagaimana saya bisa menyediakan waktu, energi, dan komitmen yang diperlukan untuk membangun rumah tangga, sementara saya masih harus menyelesaikan S2, memikirkan biaya pendidikan adik, dan memastikan bahwa keluarga saya tidak kekurangan? Kekhawatiran ini bukanlah sesuatu yang bisa saya abaikan begitu saja, karena ini menyangkut masa depan saya dan orang-orang yang saya sayangi.
Sering kali, dalam masyarakat kita, menikah dianggap sebagai langkah yang wajar dan diharapkan setelah mencapai usia tertentu. Namun, sedikit yang memahami bahwa di balik keputusan untuk menikah, ada begitu banyak pertimbangan yang harus dipikirkan dengan matang.
Bagi sebagian orang, termasuk saya, menikah bukan hanya soal memenuhi ekspektasi sosial atau keluarga. Ini adalah keputusan besar yang mempengaruhi banyak aspek kehidupan, termasuk tanggung jawab dan kebahagiaan pribadi.
Saya tidak ingin menikah hanya untuk memenuhi tuntutan masyarakat atau untuk menjawab pertanyaan "kapan menikah?" dari orang-orang di sekitar saya. Saya ingin menikah ketika saya siap, ketika saya tahu bahwa saya bisa memberikan yang terbaik untuk pasangan saya, baik secara emosional maupun finansial. Saya ingin memasuki pernikahan dengan pikiran yang tenang, tanpa harus terbebani oleh kekhawatiran tentang hal-hal yang belum terselesaikan dalam hidup saya.
Saat ini, fokus utama saya adalah mencari keseimbangan antara tanggung jawab dan kebahagiaan pribadi. Saya percaya bahwa akan tiba saatnya di mana saya merasa benar-benar siap untuk menikah, di mana semua tanggung jawab yang sekarang saya pikul sudah tertangani dengan baik. Mungkin itu bukan sekarang, mungkin itu masih membutuhkan beberapa tahun lagi, tetapi saya tidak ingin terburu-buru hanya karena tekanan dari luar.
Menikah adalah keputusan besar yang akan menentukan arah hidup saya ke depan, bukan hanya soal cinta dan komitmen, tetapi juga soal kesiapan untuk menjalani hidup bersama dalam segala suka dan duka. Saya ingin memastikan bahwa ketika saatnya tiba, saya dapat menjalani pernikahan dengan penuh kesadaran dan kesiapan, tanpa merasa terbebani oleh tanggung jawab lain yang belum terselesaikan.
Jadi, kapan menikah? Jawabannya mungkin tidak secepat yang diharapkan oleh orang-orang di sekitar saya, tetapi saya yakin bahwa setiap langkah yang saya ambil sekarang adalah bagian dari persiapan menuju kehidupan yang lebih baik di masa depan.
Saya percaya bahwa menikah bukanlah tujuan akhir, melainkan bagian dari perjalanan hidup yang harus ditempuh dengan hati-hati. Hingga saatnya tiba, saya akan terus fokus menyelesaikan tanggung jawab saya, sambil tetap membuka hati untuk cinta dan komitmen yang tulus.
Setiap orang memiliki waktunya sendiri, dan ketika waktunya tepat, saya percaya bahwa semua hal akan berjalan dengan baik, sesuai dengan harapan dan impian saya.
Pena Narr, Belajar Mencoret..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H