Kita semua tentu pernah mendengar ungkapan seperti "Tetap berpikir positif!" atau "Jangan menyerah, semuanya akan baik-baik saja!" Kalimat-kalimat ini terdengar menenangkan dan berusaha memberikan semangat.
Namun, bagaimana jika kalimat-kalimat ini justru menjadi beban, seolah-olah kita dipaksa untuk selalu bahagia, tak peduli apapun yang sedang terjadi? Di sinilah muncul fenomena yang dikenal sebagai toxic positivity.
Menelusuri Fenomena Toxic Positivity
Toxic positivity bukanlah sekadar berpikir positif atau berusaha untuk melihat sisi baik dari segala hal. Pada dasarnya, toxic positivity adalah ketika sikap positif dipaksakan, tanpa memberi ruang bagi emosi negatif yang alami.
Ini adalah ekspektasi bahwa kita harus selalu bersikap ceria dan optimis, bahkan dalam situasi yang penuh kesulitan atau penderitaan. Sayangnya, pandangan ini justru dapat berujung pada penekanan atau pengabaian emosi negatif yang penting untuk diakui dan diproses.
Mungkin kita pernah berada dalam situasi di mana seseorang berkata, "Kamu harus bersyukur" saat kita sedang merasa sedih atau kecewa. Atau mungkin kita sendiri yang tanpa sadar mengatakan hal yang sama kepada orang lain dengan niat baik.
Namun, di balik niat baik tersebut, terdapat risiko mengabaikan kenyataan emosional seseorang. Akibatnya, individu tersebut bisa merasa tertekan untuk menekan perasaan negatif mereka demi memenuhi harapan untuk selalu tampak positif.
Mengapa Toxic Positivity Merugikan?
Menekan emosi negatif dengan berpura-pura semuanya baik-baik saja tidak hanya mengabaikan kenyataan, tetapi juga dapat menyebabkan stres tambahan. Ketika seseorang merasa tertekan atau cemas, dan mereka diberi tahu untuk "hanya berpikir positif", mereka mungkin merasa bersalah karena tidak mampu melakukannya.