Mohon tunggu...
Narul Hasyim Muzadi
Narul Hasyim Muzadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - طلب العلم

Setiap tulisan adalah jejak dari perjalanan pikiran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membongkar Bahaya Hubungan Toxic di Kalangan Remaja

20 Agustus 2024   11:06 Diperbarui: 20 Agustus 2024   11:10 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hubungan toxic | Image by Kompas.com

Di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi, pacaran menjadi salah satu tren yang hampir dianggap sebagai hal wajar di kalangan remaja. Namun, ironisnya, tren ini justru menyimpan bahaya yang kerap diabaikan. Semakin hari, kasus kekerasan, pemerkosaan, hingga pembunuhan dalam hubungan pacaran remaja semakin meningkat, memperlihatkan betapa rapuhnya pondasi hubungan yang didasari oleh romantisme semu. Saatnya kita mengkritisi normalisasi pacaran yang tanpa sadar meracuni generasi muda kita.

Sebuah Romantisme Semu yang Berbahaya

Pacaran kerap kali dipandang sebagai fase biasa dalam kehidupan remaja. Masyarakat, termasuk para orang tua, sering kali memaklumi atau bahkan mendukung anak-anak mereka untuk terlibat dalam hubungan pacaran. Dalihnya sederhana: "Supaya anak belajar tentang cinta dan tanggung jawab." Namun, apakah benar demikian?

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak remaja terjebak dalam hubungan yang merusak. Mereka menganggap bahwa cinta sejati membutuhkan pengorbanan, bahkan jika itu berarti menerima perlakuan kasar atau manipulatif dari pasangan mereka. Kekerasan dalam pacaran remaja bukanlah hal yang jarang terjadi. Lebih mengerikan lagi, banyak yang tidak menyadari bahwa mereka menjadi korban, karena telah terbiasa dengan normalisasi perilaku tersebut.

Realitas Kelam Kekerasan dalam Hubungan Remaja

Hubungan pacaran di kalangan remaja sering kali dipenuhi dengan dinamika yang tidak sehat. Kekerasan, baik fisik maupun emosional, sering terjadi dengan dalih cinta atau kecemburuan. Statistik menunjukkan peningkatan kasus kekerasan dalam pacaran di kalangan remaja dari tahun ke tahun, namun, seberapa sering kita benar-benar membahas hal ini? Berapa banyak dari kita yang menyadari bahwa di balik ungkapan "cinta monyet" terdapat luka yang dalam, baik secara fisik maupun psikologis?

Data Komnas Perempuan tahun 2023 menunjukkan bahwa 2.078 kasus kekerasan seksual terjadi di Indonesia pada tahun 2023, yang merupakan 24,69% dari total kasus kekerasan (Sumber: komnasperempuan.go.id). Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat laporan kasus kekerasan seksual pada anak termasuk remaja didalamnya telah mencapai 7 ribu pada tahun 2021, dan ternyata kasus ini lebih banyak dibanding 2019 lalu sebanyak 6.454 kasus, dan pada tahun 2020 sebanyak 6.980 kasus (KPPPA, 2021).

Kekerasan dalam pacaran bukanlah masalah sepele. Ini adalah cerminan dari kegagalan kita sebagai masyarakat dalam memberikan pemahaman yang benar tentang hubungan yang sehat kepada anak-anak kita. Alih-alih membiarkan mereka mengembangkan hubungan berdasarkan kedewasaan dan tanggung jawab, kita malah mendorong mereka untuk terlibat dalam hubungan romantis yang sering kali berujung pada bahaya.

Normalisasi Pacaran, Sebuah Kebodohan Kolektif

Ketika kita membiarkan atau bahkan mendorong remaja untuk pacaran, kita sebenarnya sedang membuka pintu bagi mereka untuk terlibat dalam hubungan yang berpotensi merusak. Apa yang kita anggap sebagai "bagian dari tumbuh dewasa" sebenarnya adalah sebuah kebodohan kolektif. Kita meremehkan dampak negatif dari pacaran di usia muda, dan hasilnya adalah generasi yang tumbuh dengan luka-luka emosional dan trauma.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun