Di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi, pacaran menjadi salah satu tren yang hampir dianggap sebagai hal wajar di kalangan remaja.Â
Namun, ironisnya, tren ini justru menyimpan bahaya yang kerap diabaikan. Semakin hari, kasus kekerasan, pemerkosaan, hingga pembunuhan dalam hubungan pacaran remaja semakin meningkat, memperlihatkan betapa rapuhnya pondasi hubungan yang didasari oleh romantisme semu. Saatnya kita mengkritisi normalisasi pacaran yang tanpa sadar meracuni generasi muda kita.
Sebuah Romantisme Semu yang Berbahaya
Pacaran kerap kali dipandang sebagai fase biasa dalam kehidupan remaja. Masyarakat, termasuk para orang tua, sering kali memaklumi atau bahkan mendukung anak-anak mereka untuk terlibat dalam hubungan pacaran.Â
Dalihnya sederhana: "Supaya anak belajar tentang cinta dan tanggung jawab." Namun, apakah benar demikian?
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak remaja terjebak dalam hubungan yang merusak. Mereka menganggap bahwa cinta sejati membutuhkan pengorbanan, bahkan jika itu berarti menerima perlakuan kasar atau manipulatif dari pasangan mereka. Kekerasan dalam pacaran remaja bukanlah hal yang jarang terjadi.Â
Lebih mengerikan lagi, banyak yang tidak menyadari bahwa mereka menjadi korban, karena telah terbiasa dengan normalisasi perilaku tersebut.
Hubungan pacaran di kalangan remaja sering kali dipenuhi dengan dinamika yang tidak sehat. Kekerasan, baik fisik maupun emosional, sering terjadi dengan dalih cinta atau kecemburuan.Â
Statistik menunjukkan peningkatan kasus kekerasan dalam pacaran di kalangan remaja dari tahun ke tahun, namun, seberapa sering kita benar-benar membahas hal ini? Berapa banyak dari kita yang menyadari bahwa di balik ungkapan "cinta monyet" terdapat luka yang dalam, baik secara fisik maupun psikologis?