Mohon tunggu...
Nargis Mahdiyah
Nargis Mahdiyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - University

Sebagai mahasiswa Ilmu Perpustakaan dan Sains Informasi, saya memiliki minat yang mendalam dalam dunia penulisan artikel yang beragam dan inspiratif. Penulisan bagi saya adalah salah satu cara untuk menyampaikan informasi yang relevan, mendidik, dan tentunya menginspirasi pembaca dalam menyikapi perubahan dunia yang semakin dinamis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Cahaya di Kampung Harapan

9 Desember 2024   13:26 Diperbarui: 9 Desember 2024   14:22 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cahaya di Kampung Harapan

Matahari pagi perlahan muncul di antara gedung-gedung tinggi Jakarta, seolah ingin menyaksikan langkah kecil yang penuh makna dari sekelompok relawan Cahaya Literasi. Mereka sedang bersiap menuju Kampung Harapan, kawasan permukiman kumuh di pinggiran kota. Di antara mereka, ada Aisyah, seorang mahasiswi yang untuk pertama kalinya bergabung dalam kegiatan ini. Punggungnya terasa berat, bukan hanya karena tas yang penuh dengan buku cerita bergambar, tetapi juga tanggung jawab yang ia rasakan untuk membawa perubahan kecil bagi anak-anak di sana.

“Semangat, Aisyah!” seru Budi, koordinator tim, dengan suara penuh optimisme. “Ingat, hari ini kita bukan cuma membawa buku, tapi juga secercah harapan.”

Setelah perjalanan singkat melewati hiruk-pikuk kota, mereka tiba di Kampung Harapan. Permukiman itu penuh sesak oleh rumah-rumah kecil yang berdempetan, beberapa hampir roboh. Namun, yang menarik perhatian Aisyah bukanlah kondisi fisiknya, melainkan tawa riang anak-anak yang berlarian tanpa alas kaki di jalanan sempit. Ada sesuatu yang menenangkan dalam kebahagiaan sederhana mereka.

Saat berjalan, pandangan Aisyah tertuju pada seorang bocah laki-laki yang duduk di atas peti kayu tua. Bocah itu terlihat serius membaca selembar koran kusam. Ketika mata mereka bertemu, ia tersenyum lebar, senyuman yang mengundang Aisyah untuk mendekat.

“Kamu suka membaca?” tanya Aisyah sambil jongkok di depannya.

“Iya, Kak,” jawabnya sambil menunjukkan koran yang hampir sobek. “Tapi cuma punya ini.”

Aisyah terenyuh mendengar pengakuan itu. Bocah bernama Farhan itu bercerita bahwa koran bekas adalah satu-satunya bahan bacaan yang ia temukan di sekitar rumahnya.

Di tengah lapangan kecil yang menjadi pusat kegiatan, para relawan mulai membentangkan tikar dan mengatur buku-buku cerita. Anak-anak berkerumun, penuh antusiasme. Budi mengambil buku “Petualangan Si Gajah Kecil” dan mulai membacakan cerita dengan penuh ekspresi. Suara tawa dan kekaguman terdengar setiap kali Budi membalik halaman, memperlihatkan gambar-gambar penuh warna.

Mata Aisyah tertuju pada wajah-wajah kecil itu. Tatapan mereka berbinar, seolah petualangan si gajah kecil membawa mereka melintasi batas-batas sempit permukiman mereka, menuju dunia imajinasi yang penuh keajaiban.

Setelah sesi membaca selesai, para relawan mengadakan permainan kecil yang diadaptasi dari cerita tadi. Anak-anak melompat, bersorak, dan tertawa, menikmati momen kebahagiaan tanpa beban.

Sesi terakhir adalah puncak acara: pembagian buku cerita gratis. Aisyah dengan hati-hati menyerahkan sebuah buku bergambar kepada Farhan. “Ini untuk kamu,” ucapnya lembut.

Farhan memeluk buku itu dengan erat, seolah itu adalah harta paling berharga yang pernah ia miliki. “Terima kasih, Kak. Aku janji akan baca setiap hari,” katanya dengan senyum yang begitu tulus.

Hati Aisyah bergetar. Ia menyadari bahwa buku kecil itu bukan sekadar tumpukan kertas. Bagi Farhan, itu adalah jendela menuju mimpi-mimpi yang lebih besar, peluang untuk melihat dunia di luar Kampung Harapan.

Ketika matahari mulai tenggelam, para relawan bersiap meninggalkan tempat itu. Namun, sebelum naik ke bus, Aisyah menoleh ke belakang dan melihat Farhan. Bocah itu duduk di sudut lapangan, membuka bukunya dengan penuh semangat, seolah dunia baru telah terbuka di hadapannya.

Di perjalanan pulang, Aisyah membuka buku catatannya, tempat ia menuliskan nama-nama anak yang ia temui hari itu. Di dalam hatinya, ia bertekad bahwa ini bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan panjang untuk menyalakan lebih banyak cahaya harapan di tempat-tempat yang membutuhkan.

Hari itu, Aisyah belajar bahwa literasi adalah kekuatan. Sebuah buku sederhana dapat menjadi benih perubahan, membawa harapan di tengah keterbatasan, dan menerangi masa depan yang lebih baik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun