Mohon tunggu...
Nargis Mahdiyah
Nargis Mahdiyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - University

Sebagai mahasiswa Ilmu Perpustakaan dan Sains Informasi, saya memiliki minat yang mendalam dalam dunia penulisan artikel yang beragam dan inspiratif. Penulisan bagi saya adalah salah satu cara untuk menyampaikan informasi yang relevan, mendidik, dan tentunya menginspirasi pembaca dalam menyikapi perubahan dunia yang semakin dinamis.

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Rumah di Ujung Desa Lawu

15 Oktober 2024   11:13 Diperbarui: 15 Oktober 2024   14:53 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rumah di Ujung Desa Lawu

Oleh: Nargis Mahdiyah

Malam itu, langit gelap di hiasi bintang, dan udara terasa semakin dingin di desa terpencil yaitu desa Lawu tempat sekelompok mahasiswa KKN melaksanakan kegiatan mereka. 

Desa itu terletak jauh dari keramaian, dikelilingi oleh hutan dan perbukitan. Enam orang mahasiswa yaitu Raka, Alya, Farel, Lisa, Sinta, dan Bima telah mendengar cerita aneh dari warga setempat tentang sebuah rumah kosong di ujung desa. 

Rumah itu sudah lama ditinggalkan dan dikenal dengan berbagai kisah menyeramkan."Berani nggak kita ke rumah itu?" Raka mengusik, mencoba memancing keberanian teman-temannya.

Alya, yang dikenal paling penakut, langsung menolak. "Nggak, deh. Katanya rumah itu angker. Banyak yang bilang sering denger suara aneh dari sana."


Farel, yang selalu penasaran dengan hal-hal mistis, tersenyum lebar. "Justru itu yang bikin menarik. Kapan lagi kita punya pengalaman mistis? Kita cek sebentar aja, lagipula cuma sekedar rumah tua."

Setelah berdiskusi singkat, mereka memutuskan untuk pergi bersama-sama, lebih untuk menghilangkan rasa bosan dari rutinitas KKN yang cukup padat. Dengan berbekal senter dan jaket tebal, keenamnya berjalan menuju rumah itu. Warga desa sempat mengingatkan mereka untuk tidak mendekati rumah tersebut, tapi rasa penasaran mereka sudah terlalu besar untuk diabaikan.

Setelah berjalan selama 20 menit melalui jalan setapak yang semakin sempit dan berbatu, mereka tiba di depan rumah tua itu. Rumah tersebut tampak besar dengan atap yang sebagian sudah runtuh, jendela-jendelanya pecah, dan halamannya dipenuhi tanaman liar. Suasana di sekitar rumah terasa sangat sunyi, seolah-olah seluruh desa terisolasi dari tempat itu.

"Kita masuk, yuk," ucap Farel tanpa ragu. Ia langsung mendorong pintu kayu yang sudah lapuk dan berbunyi pelan.

Begitu masuk, bau lembap dan apak langsung menyergap hidung mereka. Dinding rumah itu penuh dengan lumut, dan lantainya dipenuhi debu tebal. Lisa memegang senter dan mengarahkannya ke berbagai sudut, mencoba memecah kegelapan yang terasa pekat. Di salah satu sudut ruangan, tampak kursi goyang tua yang bergerak pelan, meskipun tak ada angin yang berhembus.

"Kok kursinya bergerak?" Sinta berbisik, matanya membelalak.

"Pasti cuma efek dari lantai kayunya yang lapuk. Nggak mungkin ada apa-apa," jawab Bima mencoba tenang, meskipun suaranya terdengar agak gemetar.

Mereka melangkah lebih jauh ke dalam rumah itu. Suasana semakin mencekam ketika tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari lantai atas. Semua terdiam. Suara itu pelan, namun jelas, seperti seseorang sedang berjalan di lantai kayu tua di atas mereka.

"Kalian denger itu?" tanya Alya, suaranya hampir bergetar.

Raka menyalakan senternya ke arah tangga yang menuju lantai atas. "Siapa di atas?" teriaknya, meski dia sendiri tak yakin apakah ada yang akan menjawab.

Tidak ada jawaban, tetapi suara langkah kaki itu berhenti. Keheningan yang tiba-tiba membuat jantung mereka berdegup lebih kencang. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, tiba-tiba terdengar suara keras seperti sesuatu benda terjatuh dari lantai atas.

"Gue nggak suka ini. Ayo balik aja!" Alya mulai panik.

Namun Farel, yang terlanjur tertarik dengan misteri rumah itu, memutuskan untuk naik ke lantai atas. "Gue mau lihat apa yang jatuh tadi," katanya sambil mulai menaiki tangga.

Raka dan Bima, meski ragu, mengikuti di belakangnya. Alya, Lisa, dan Sinta menunggu dengan perasaan campur aduk di lantai bawah. Ketika ketiganya sampai di lantai atas, suasana terasa jauh lebih menyeramkan. Lorong di lantai atas panjang dan sempit, dengan banyak pintu kamar yang sudah rusak.

Mereka mengarahkan senter ke salah satu kamar dan melihat sebuah boneka tua yang tergolek di lantai. Boneka itu tampak usang, dengan mata kaca yang pecah, dan gaunnya yang lusuh. Anehnya, boneka itu tampak basah, meski tidak ada tanda-tanda kebocoran di langit-langit.

"Boneka ini jatuh?" Bima bertanya heran.

"Boneka ini... kayaknya bergerak sendiri," gumam Raka dengan nada ragu. Belum sempat mereka mencerna situasi, pintu kamar tiba-tiba tertutup sendiri dengan keras. Angin dingin berhembus dari jendela yang pecah, seakan ada sesuatu yang mengintai mereka.

Di lantai bawah, Lisa, Sinta, dan Dinda mulai mendengar suara berbisik. Mereka saling berpandangan, wajah mereka pucat.

"Gue nggak suka ini. Pasti ada sesuatu di sini..." bisik Sinta.

Tiba-tiba, lampu senter Lisa mati. Kegelapan menelan mereka. Suara bisikan itu semakin jelas, terdengar seperti berasal dari berbagai arah, seolah-olah ada seseorang atau sesuatu yang mengelilingi mereka.

Sementara itu, di lantai atas, Raka, Farel, dan Bima mendengar langkah kaki kembali, tapi kali ini lebih cepat, lebih berat, seolah-olah seseorang sedang berlari mendekat ke arah mereka. Tanpa berpikir panjang, mereka berlari turun, bergabung dengan yang lain di lantai bawah.

"Kita harus keluar sekarang!" teriak Farel, wajahnya pucat pasi.

Semua langsung berlari menuju pintu keluar, tapi pintu itu terkunci, meskipun mereka yakin pintu itu sebelumnya terbuka. Panik, mereka mencoba membukanya dengan sekuat tenaga, namun tidak berhasil. Suara langkah kaki mendekat dari belakang mereka, kali ini disertai dengan suara napas berat.

Dengan napas tertahan, mereka melihat bayangan hitam besar muncul dari lorong, melayang perlahan ke arah mereka. Tanpa berpikir panjang, Bima berhasil mendobrak pintu, dan mereka semua keluar berlari tanpa menoleh lagi.

Begitu mereka keluar dari rumah itu, mereka mendengar pintu rumah tertutup dengan keras di belakang mereka. Nafas mereka terengah-engah, dan keringat dingin membasahi wajah mereka. Tidak ada yang berani berkata-kata hingga mereka kembali ke rumah penduduk.

Sejak malam itu, tidak ada satupun dari mereka yang berani membicarakan tentang rumah tua itu lagi. Warga desa hanya tersenyum misterius ketika ditanya tentang rumah tersebut.

Bagi kelompok KKN itu, rumah di ujung desa itu menyimpan sesuatu yang jauh lebih gelap daripada sekedar cerita mistis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun