Mohon tunggu...
Narda M Sinambela
Narda M Sinambela Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Mass and Digital Communications UAJY

Hanya seorang Introvert yang bercita Jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Pentingnya Peran Media Online pada Isu Kesehatan Mental

8 Oktober 2019   10:40 Diperbarui: 15 Oktober 2019   14:36 1011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mental Health (theodysseyonline.com)

Seiring perubahan zaman, teknologi berkembang semakin canggih dan pesat. Salah satunya "media" sebagai alat komunikasi. Hadirnya media di era digital turut memengaruhi praktik jurnalisme dalam berbagai aspek. Jurnalisme di Indonesia juga ikut berubah seiring dengan berkembangnya teknologi digital. 

Berdasarkan data dari Dewan Pers (2018), Indonesia memiliki media daring (siber) sebanyak 43.300 dan yang terverifikasi memenuhi ketentuan UU Pers ada 65 media. Tingginya jumlah situs berita yang bermunculan secara tidak langsung memperingatkan khalayak untuk siap menghadapi arus informasi dan kritis dalam mengonsumsinya.

Menurut Ambardi dalam Satria (2017) terdapat lima tren yang menjadi ciri khas dan poin utama media daring di Indonesia yang dapat digunakan sebagai awal kritik dalam mengonsumsi berita daring. 

  1. aspek kecepatan. 
  2. truth in the making. 
  3. sensationalism is a menu of the day. 
  4. bersifat Jakarta sentris. 
  5. mempraktikan cara kerja public relation yang memelintir suatu isu.

Ada kecenderungan media daring mengedepankan sensasionalitas dibandingkan akurasi dari sebuah informasi demi mendapatkan click. Salah satu penyebab dari media tidak berkualitas, karena pembacanya juga tidak berkualitas. Inilah yang menjadi pedoman bagi media dalam membuat kontennya, karena kondisi pasar (masyarakat) Indonesia yang cenderung menyukai hal remeh temeh.

Hal ini dapat dilihat dari bagaimana media di Indonesia membicarakan isu kesehatan mental. Prinsip dasar dari kesehatan mental adalah  kesehatan mental  itu  lebih  dari  tiadanya  (tidak  sekadar)  perilaku  abnormal, kesehatan mental itu merupakan konsep yang ideal tentang sehatnya aspek psikologis individu,  dan  kesehatan  mental  sebagai  bagian  dari  karakteristik  kualitas  hidup (Notosoedirdjo & Latipun, 2002).

Persoalan kesehatan mental di Indonesia masih dianggap kalah serius daripada kondisi psikis. Masyarakat masih belum dapat melihatnya sebagai penyakit serius yang bahkan dapat mengancam kehidupan.

Seseorang dengan kesehatan mental yang baik dapat dikategorikan saat dirinya mampu menerima kekurangan dalam dirinya, sanggup menghadapi permasalahan hidup dan memiliki kebahagiaan dalam hidupnya.

Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI dalam Abdi (2019) mengungkapkan berdasarkan data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan jumlah keseluruhan kasus penyakit rumah tangga dengan anggota yang mengidap skizofrenia atau psikosis sebesar 7 dari 1000 dengan cakupan pengobatan 84,9%.

Sementara itu jumlah keseluruhan kasus penyakit gangguan mental emosional pada remaja berumur lebih dari 15 tahun sebesar 9,8%. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2013 yaitu sebesar 6%. 

Kesehatan mental sudah menjadi isu global yang seringkali dipandang sebelah mata. World Health Organization (WHO) dalam Kurniawan (2018) menuturkan bahwa satu dari empat orang di dunia terjangkit gangguan jiwa atau neurologis, yang berarti ada sekitar 450 juta orang yang mengalami gangguan mental.

Bahkan WHO memperkirakan di tahun 2020 depresi akan menjadi penyumbang utama kedua beban penyakit global di semua usia.

Masalah kesehatan mental juga tak jarang berakhir dengan mengakhiri hidup, terutama dengan bunuh diri. Berdasarkan rata-rata statistik dari Pusat Penyuluhan Sosial Kementerian Sosial Republik Indonesia (2018), dalam sehari setidaknya ada dua hingga tiga orang melakukan bunuh diri di Indonesia. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat setidaknya ada 812 kasus bunuh diri di Indonesia pada tahun 2015. Sedangkan menurut World Population Review dalam Tempo (2019), Indonesia berada di urutan 151 dari 176 negara di dunia.

Meski angka bunuh diri di Indonesia rendah, namun, pada 2018 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan kasus bunuh diri di Indonesia mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2017 yang menempatkan Indonesia berada di urutan 172 dari 183 negara dengan rata-rata 3 kasus per 100 ribu jiwa.

Badara (2012) mengatakan media menyusun realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna. Dengan demikian, seluruh isi media merupakan realitas yang telah dikonstruksikan dalam bentuk yang bermakna.

Cara media memberitakan bunuh diri dapat berpengaruh negatif bagi pembacanya, seperti pemberitaan pers terkait modus, sering kali terlalu detail dan bisa menimbulkan copycat suicide, atau peniruan atas aksi tersebut, atau menyebabkan pengaruh positif dengan mencegah kejadian bunuh diri.

Kecenderungan pemberitaan media seperti itu menunjukkan tidak pahamnya jurnalis atas prinsip kerja jurnalis terkait bunuh diri.

Dilansir dari laman intothelight.org (tidak ada tanggal), lebih dari 50 studi di seluruh dunia telah membuktikan bahwa pemberitaan bunuh diri dengan pembingkaian tertentu dapat meningkatkan keinginan seseorang untuk bunuh diri dari individu yang berisiko.

Tingkat kenaikan seringkali terkait dengan jumlah, durasi, atau seberapa heboh pemberitaannya. Hal itu diperparah saat media tersebut menggambarkan bunuh diri dengan menyisipkan konten, metode-metode, dan hal eksplisit mengenai kejadian tersebut.

Pada 10 April 2017 terdapat berita yang dimuat di jpnn.com dengan judul Skripsi Tak Kunjung Selesai, Mahasiswa Gantung Diri. 

jpnn.com
jpnn.com
Regional.kompas.com pada 31 Mei 2019 memuat berita dengan judul Sering Buat Onar, Pria Gangguan Jiwa Dibunuh Keponakan. 

kompas.com
kompas.com
Tidak hanya itu saja Tribunnews.com pada 18 Maret 2017 ikut memberitakan dengan judul Sebelum Bunuh Diri Live di Facebook, Indra Sempat Komentari Status Istrinya Pamer Rambut Baru.

tribunnews.com
tribunnews.com
Liputan6.com juga ikut membertakan pada 28 September 2017 dengan judul Salam Perpisahan Mahasiswa di Kupang uang Tewas Gantung Diri.

liputan6.com
liputan6.com
Isu bunuh diri merupakan satu dari banyaknya isu kesehatan mental di mana media kerap salah kaprah dalam memberitakannya. Kompleksitas permasalahan media dan isu kesehatan menjadi tantangan bagi Jurnalis dalam memberitakan isu kesehatan mental jurnalistik yang harusnya komprehensif serta mengikuti koridor pemberitaan isu kesehatan mental.

Framing atau pembingkaian media terhadap isu kesehatan mental juga acapkali menuai masalah. Selain menghadirkan pemberitaan yang minim simpati pada keluarga penderita kesehatan mental, media juga berperan dalam memperkeruh pembaca untuk terseret dalam kondisi kesehatan mental yang lebih buruk lewat pemberitaannya yang serampangan.

Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo mengungkapkan kepada kumparan.com (2019), dari hasil pemantauan pemberitaan yang ada, berita tentang kasus bunuh diri itu, banyak yang terlalu gamblang, tidak memiliki empati kepada keluarga dan orang terdekat, tak memiliki kepekaan, seperti laporan kriminal atau malah infotainment, menggunakan gambar atau video yang viral di medsos sebagai bahan berita, juga mengambil bahan medsos dari pelaku bunuh diri.

Maka itu, dibutuhkan pedoman kasus bunuh diri untuk memberikan semacam headline untuk peliputan, siaran radio atau TV. Sebelumnya, dalam Kode Etik Jurnalistik pun sudah dijabarkan bahwa wartawan Indonesia agar tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul.

Do's and Don'ts (dok. pribadi)
Do's and Don'ts (dok. pribadi)
Dewan Pers menyiapkan 14 poin panduan, yang bisa digunakan bagi para jurnalis dalam meliput aksi bunuh diri, sebagai berikut:
  • Jurnalis mempertimbangkan secara seksama manfaat sebuah pemberitaan bunuh diri. Kalau pun berita dibuat harus diarahkan kepada concern atas permasalahan yang dihadapi pelaku yang sekaligus adalah korban dan bukan justru mengeksploitasi kasus bunuh diri sebagai sebuah berita yang sensasional.

  • Jurnalis menyadari bahwa pemberitaan kasus bunuh diri bisa menimbulkan perasaan traumatik kepada keluarga pelaku, teman, dan orang-orang yang mengenal pelaku.

  • Jurnalis (dalam konteks pemberitaan) tidak memuat stigma kepada pelaku bunuh diri ataupun orang yang mencoba melakukan bunuh diri.

  • Jurnalis menghindari penyebutan identitas pelaku (juga lokasi) bunuh diri secara gamblang untuk menghindari aib atau rasa malu yang akan diderita pihak keluarganya. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.

  • Dalam melakukan wawancara terkait aksi bunuh diri, jurnalis harus mempertimbangkan pengalaman traumatis keluarga atau orang terdekat.

  • Dalam mempublikasikan tulisan atau menayangkan gambar, foto, video tentang kasus bunuh diri, jurnalis perlu mempertimbangkan dampak imitasi atau peniruan (copycat suicide) di mana orang lain mendapat inspirasi dan melakukan aksi peniruan, terutama terkait tindakan bunuh diri yang dilakukan pesohor, artis atau tokoh idola.

  • Jurnalis tidak mengekspos foto ataupun video korban bunuh diri maupun aksi bunuh diri yang dapat menimbulkan perasaan traumatik bagi masyarakat yang melihat atau menontonnya.

  • Jurnalis media penyiaran tidak membuat siaran live terhadap orang yang sedang berniat melakukan aksi bunuh diri.

  • Jurnalis tidak menyiarkan modus detail dari aksi bunuh diri, mulai dari cara, peralatan, jenis obat atau bahan kimia, maupun teknik yang digunakan pelaku. Termasuk tidak mengutip secara detail informasi yang berasal dari dokter maupun penyidik kepolisian ataupun membuat sketsa dan bagan terkait hal tersebut.

  • Jurnalis tidak mengambil bahan dari media sosial, baik foto, tulisan maupun video, dari korban bunuh diri untuk membuat berita bunuh diri.

  • Media tidak mengeksploitasi pemberitaan kasus bunuh diri antara lain dengan cara mengulang-ulang pemberitaan kasus bunuh diri yang terjadi atau yang pernah terjadi.

  • Jurnalis tidak membuat berita ulangan terkait riwayat seseorang yang pernah gagal dalam melakukan upaya bunuh diri.

  • Untuk kepentingan laporan investigasi pengungkapan misteri kematian bunuh diri, dengan memperhitungkan dampak liputan yang memiliki kaitan dengan kehidupan banyak orang, wartawan diperbolehkan untuk menulis atau menyiarkan berita lebih detail dengan fokus untuk pengungkapan kejahatan di balik kematian bunuh diri.

  • Dalam hal media atau wartawan memutuskan untuk memberitakan sebuah aksi bunuh diri, maka berita yang ada harus diikuti dengan anjuran atau ajakan untuk mencegah pembaca, pendengar, atau pemirsa melakukan hal serupa.

Oleh karena itu, media harus dapat memberitakan kasus bunuh diri secara empati dan simpati, karena bagi mereka yang pernah melakukan percobaan bunuh diri, bisa menimbulkan hasrat untuk bunuh diri lagi. Kemudian untuk keluarga korban, pemberitaan media online yang akan tetap terus ada beserta rekam jejak digitalnya dapat menimbulkan trauma lagi.

Sumber :

Badara, A. 2012.  Analisis Wacana: Teori, Metode, dan Penerapannya pada Wacana Media. Jakarta: Kencana.

Notosoedirdjo &  Latipun.  2002.  Kesehatan  Mental:  Konsep  dan  Penerapan. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun