Jurnalis tidak mengekspos foto ataupun video korban bunuh diri maupun aksi bunuh diri yang dapat menimbulkan perasaan traumatik bagi masyarakat yang melihat atau menontonnya.Jurnalis media penyiaran tidak membuat siaran live terhadap orang yang sedang berniat melakukan aksi bunuh diri.Jurnalis tidak menyiarkan modus detail dari aksi bunuh diri, mulai dari cara, peralatan, jenis obat atau bahan kimia, maupun teknik yang digunakan pelaku. Termasuk tidak mengutip secara detail informasi yang berasal dari dokter maupun penyidik kepolisian ataupun membuat sketsa dan bagan terkait hal tersebut. Jurnalis tidak mengambil bahan dari media sosial, baik foto, tulisan maupun video, dari korban bunuh diri untuk membuat berita bunuh diri.
Media tidak mengeksploitasi pemberitaan kasus bunuh diri antara lain dengan cara mengulang-ulang pemberitaan kasus bunuh diri yang terjadi atau yang pernah terjadi.Jurnalis tidak membuat berita ulangan terkait riwayat seseorang yang pernah gagal dalam melakukan upaya bunuh diri.Untuk kepentingan laporan investigasi pengungkapan misteri kematian bunuh diri, dengan memperhitungkan dampak liputan yang memiliki kaitan dengan kehidupan banyak orang, wartawan diperbolehkan untuk menulis atau menyiarkan berita lebih detail dengan fokus untuk pengungkapan kejahatan di balik kematian bunuh diri.Dalam hal media atau wartawan memutuskan untuk memberitakan sebuah aksi bunuh diri, maka berita yang ada harus diikuti dengan anjuran atau ajakan untuk mencegah pembaca, pendengar, atau pemirsa melakukan hal serupa. Oleh karena itu, media harus dapat memberitakan kasus bunuh diri secara empati dan simpati, karena bagi mereka yang pernah melakukan percobaan bunuh diri, bisa menimbulkan hasrat untuk bunuh diri lagi. Kemudian untuk keluarga korban, pemberitaan media online yang akan tetap terus ada beserta rekam jejak digitalnya dapat menimbulkan trauma lagi.
Sumber :
Badara, A. 2012. Â Analisis Wacana: Teori, Metode, dan Penerapannya pada Wacana Media. Jakarta: Kencana.
Lihat Inovasi Selengkapnya