Gang Gloria di daerah Pancoran, Glodok adalah sebuah gang kecil yang berada di salah satu kawasan pecinan tua di Jakarta Barat.
Untuk mencapainya, bisa dengan berjalan kaki dari Stasiun Jakarta Kota atau halte bus TransJakarta Glodok. Bagi saya yang senang naik KRL alias commuter line, berjalan kaki dari stasiun kota menuju Gang Gloria adalah hal yang menyenangkan karena dalam perjalanan saya bisa melihat deretan seniman atau tepatnya pelukis jalanan yang sibuk melukis pesanan pelanggan.Â
Umumnya berupa foto yang ingin diubah menjadi karikatur atau beberapa juga menerjemahkan foto ke dalam lukisan tangan. Sangat unik melihat betapa santai namun seriusnya para seniman ini melukis di tengah hiruk-pikuk orang melintas berjalan kaki dan deru kendaraan yang mengepulkan asap knalpot juga debu tanpa ampun.Â
Sesampai di penghujung jalan, sebelum berbelok menuju Gang Gloria, saya disambut oleh deretan poci teh yang bisa dinikmati gratis oleh siapapun yang melintas. Itulah Pantjoran Tea House, sebuah restoran yang gedungnya memiliki sejarah panjang sampai jauh sebelum Indonesia merdeka.Â
Konon adalah Kapiten Gan Djie, seorang kapiten Cina (Kapitein der Chineezen) ketiga di Batavia beserta istrinya sebagai pemilik gedung tersebut yang memulai tradisi menyediakan delapan teko teh gratis bagi siapapun yang melintas. Pada zaman di mana air bersih adalah barang yang langka, menyediakan delapan teko teh secara gratis adalah sebuah perbuatan yang mulia.Â
Selain itu, teko yang berjumlah delapan, berkaitan dengan bentuk angka delapan yang tidak putus dari ujung ke ujung, dipercaya membawa keberuntungan yang tidak putus-putus baik bagi pemberi maupun penerima teh gratis itu.Â
Tradisi menyediakan delapan poci teh ini kemudian disebut sebagai tradisi Patekoan karena 'pa' ( =B) dalam bahasa China berarti delapan, sedangkan "teko" adalah cerek untuk tempat air minum, sehingga Patekoan kurang lebih berarti delapan teko yang berisi air untuk diminum.Â
Dari situ perjalanan berlanjut melewati beberapa kios pedagang obat-obatan tradisional Tiongkok. Sayapun berhenti sejenak di kios yang terlihat paling tua untuk mencari tahu bagaimana bila saya punya keluhan penyakit tertentu dan bagaimana mereka menentukan ramuan obat yang harus saya konsumsi.Â
Dari obrolan singkat saya di sana, rupanya seperti layaknya obat-obatan di apotek, di kios obat tradisional inipun orang tidak bisa sembarangan membeli obat semaunya sendiri.Â