Selama ini kajian hadis dan ilmunya dianggap sebagai sebuah disiplin ilmu yang hanya digeluti oleh para ulama hadis berlatar belakang timur tengah (sarjana-sarjana Arab). Pernyataan tersebut tidak disimpulkan semuanya salah, jika parameter yang digunakan adalah dengan memperhatikan literatur-literatur hadis, khususnya ilmu hadis yang kebanyakan merupakan buah pemikiran para ulama timur tengah. Terlepas dari banyaknya literatur tersebut, ada beberapa yang merupakan hasil pemikiran dari ulama-ulama Indonesia. Bahkan hasil pemikiran dari para ulama tersebut ternyata juga cukup diperhitungkan dan mendapatkan perhatian oleh para cendikiawan secara luas dalam khazanah keilmuan Islam, khususnya disiplin hadis dan ilmu hadis.
Di Nusantara kajian hadis sedikit memiliki latar belakang keterlambatan dibanding kajian ilmu lainnya. Karena hadis-hadis tersebut sudah diproses dalam bidang ilmu yang lain, seperti fiqih yang karyanya didukung oleh argument-argumen berdasarkan hadis. Pada abad 17 sudah dapat ditemukan adanya kajian hadis di Indonesia, hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa kitab hadis yang ditulis oleh Nur Al Din Al Raniry dan Abdurrauf As Singkili. Meskipun dua karya tersebut lebih dapat dikatakan sebagai kitab hadis yang tujuan utamanya adalah sebagai pembinaan keberagamaan, terutama fiqh dan akhlak.
Ketika abad ke 19 muncullah ulama seperti Nawawi al Bantani (Banten) yang dikenal sebagai pengarang yang paling produktif. Beliau menulis kitab tafsir An-Nur Marah Labid, dan menulis kitab dalam setiap disiplin ilmu yang dipelajari di pesantren. Selain itu juga lahir seorang ulama seperti Syaikh Mahfudz at Tirmasi (w.1919/1920), beliau dikenal sebagai ulama hadis terkemuka dan dianggap sebagai pembangkit ilmu dirayah (ilmu kritik sanad dan matan hadis). Dan juga dianggap bejasa dalam kajian disiplin ilmu hadis di Indonesia. Jaringan ulama tersebut terus berlanjut hingga abad ke 20, ulama besar saat itu adalah Syaikh Muhammad Yasin bin Isa al Padangi (w.1990).
Biografi Nawawi Al Bantani
Syaikh Nawawi al Bantani, nama lengkapnya Abu 'Abd al Mu'thi Muhammad Nawawi bin Umar al Tanari al Bantani al Jawi, lahir di desa Tanara, Tirtayasa, Serang, Banten, pada tahun 1230 H/1813 M. Ia meninggal pada hari Kamis, 25 Syawal 1314 H/1897 M di Syi'ib Ali, Mekkah, dalam usia 84 tahun, dan dimakamkan di pemakaman Ma'la dekat makam Ibnu Hajar al Asqalani dan Siti Asma' binti Abu Bakar Ash Shiddiq.
Sebagai putra pertama dari tujuh bersaudara, Nawawi al Bantani berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH. Umar, adalah seorang penghulu dan ulama, sedangkan ibunya, Jubaidah, merupakan keturunan kesultanan Banten. Ia belajar agama sejak usia dini, termasuk dari ulama terkenal di daerahnya seperti Kyai Sahal dan Raden Haji Yusuf.
Pada usia 15 tahun, Nawawi al Bantani pergi ke Mekkah untuk menimba ilmu. Di sana, ia belajar dari berbagai guru terkemuka seperti Sayyid Ahmad Nahrawi, Sayyid Ahmad Dimsyathi, dan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Ia juga menuntut ilmu kepada Muhammad Khatib al Hanbali di Madinah, serta melanjutkan studinya ke Syam (sekarang Suriah) dan Mesir. Ilmu yang diperolehnya menjadi pondasi untuk karya-karya besarnya.
Tidak hanya menimba ilmu, Nawawi al Bantani juga mengajarkan pengetahuannya kepada murid-muridnya yang kemudian menjadi ulama terkemuka di Nusantara, termasuk tokoh seperti KH. Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga memiliki pengikut dari Malaysia.
Setelah menghabiskan 30 tahun di tanah suci, Nawawi al Bantani kembali ke Tanara, Banten, pada tahun 1833. Ia menyebarluaskan ilmunya di pesantren dan masyarakat sekitar, memberikan ceramah yang menginspirasi semangat perlawanan terhadap penjajah Belanda. Meskipun para kolonial mengawasinya dan mencoba menghalangi pengaruhnya, ceramah-ceramahnya tetap membangkitkan kesadaran rakyat.
Meskipun kondisi politik di Banten belum berubah banyak, Nawawi al Bantani terus mengamati perkembangan dari jauh. Keterbatasan dalam menyebarkan paham keagamaan akibat tekanan kolonial membuatnya merasa tidak betah di tanah kelahirannya. Pada tahun 1855, setelah tiga tahun di Banten, ia kembali ke Mekkah untuk menimba ilmu lagi. Meskipun begitu, ia tetap peduli terhadap nasib bangsanya dan terus berkontribusi melalui kontak dengan murid-muridnya.
Nawawi al Bantani tetap berjuang dari jauh untuk kemajuan bangsanya dan kemerdekaan Indonesia. Ia menjadi sumber inspirasi melalui pemikirannya dan semangat perjuangannya dalam menghadapi penindasan. Dengan demikian, ia menjaga api kebenaran dan kekuatan jiwa yang penting untuk melawan penindasan dan kezaliman.
Karya-karya ilmiah
Syaikh Nawawi al Bantani memiliki dedikasi keilmuan yang tinggi, khususnya dalam kajian-kajian keislaman yang beliau tulis dalam berbagai disiplin ilmu. Jika kebanyakan ulama Nusantara saat itu menulis karyanya dengan redaksi Melayu, Menariknya semua karya yang Nawawi al Bantani tulis menggunakan redaksi berbahasa Arab. Karya-karyanya mencakup berbagai disiplin ilmu Islam, mulai dari fiqh, tafsir, hadis, tasawwuf, dan sejarah.
Beberapa karya Nawawi al Bantani sangat cukup popular dan secara mayoritas seringkali dikonsumsi orang-orang Islam yang belajar di pesantren Indonesia dikategorikan dalam tujuh rumpun bidang ilmu sebgai berikut:
Bidang akhlak dan tasawuf; seperti Nashaih al 'ibad, al adzhar, al maraqi al 'Ubudyah, Sulalim al Fudhala, Misbha al Zulam.
Bidang hadis; Al Arba'in al Nawawi dan Tanqih al Qaul.
Bidang fikih; Nihayah al Zain, Kasyifah al Saja, al Tsamar fi Riyadh al Badi'ah, Sulam Munajat, 'Uqud al Lujain, al Tausyih ibn Qasim.
Bidang tauhid, akidah, ushuluddin; Tijan al Darari, Qami' Thugyan, dan Fath al Majid.
Bidang sejarah, al ibriz al Dani fi Mualid Sayyidina Muhammad, Bughyah al Awwam fi Maulid Sayyid al Anam.
Bidang gramatikal Arab (Nahwu, Saraf, dan Balaghah); Fath al Ghafir al Khatiyah 'ala Raudhah al Bahiyah fi Abwab al Tashrifiyah, Lubab al Bayyan fi al Isti'arah;
Bidang Tafsir; Marah Labid fi Kasyfi Ma'na a Qur'an al Majid.
Pemikiran Syekh Nawawi al Bantani dalam Studi Hadis
Dengan Penyebaran karyanya ke sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara ini dapat memperkokoh pengaruh ajaran Syekh Nawawi al Bantani. Kemudian ciri geneologi pesantren yang satu sama lain terkait juga turut mempercepat penyebaran karya-karya Syekh Nawawi al Bantani, sehingga banyak dijadikan sebgaai referensi utama. Bahkan kitab tafsirnya telah dijadikan mata pelajaran tingkat kedua di dunia pesantren setelah tafsir jalalain.
Dalam Disiplin Ilmu Hadis Syekh Nawawi al Bantani memiliki dua teknik interpretasi dalam mensyarah hadis-hadis, yaitu pertama, dengan interpretasi secara tekstual dan kedua, dengan intertekstual. Yang dimaksud dengan teknik interpretasi hadis Nabi secara tekstual adalah pemahaman terhadap matan atau isi hadis berdasarkan teksnya semata, baik diriwayatkan secara lafal ataupun secara makna. Teknik seperti ini terkadang dapat menghilangkan atau mengabaikan pertimbangan latar belakang peristiwa (wurud) hadis dan dalil-dalil lainnya.
Salah satu argumen Nawawi al Bantani menggunakan metode ini kemungkinan didasarkan pada keyakinan bahwa segala ucapan dan perilaku Nabi Muhammad saw tidak terlepas dari konteks kewahyuan, bahwa segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah saw merupakan wahyu. Kedua, teknik interpretasi intertekstual yang merupakan pemahaman terhadap matan hadis dengan memperhatikan hadis lain (tanawwu'), atau ayat-ayat Al-Qur'an yang terkait.
Kemudian ada tiga corak pendekatan yang digunakan Syekh Nawawi al Bantani terhadap hadis-hadis yang dibahas. Yaitu dengan pendekatan theologis, pendekatan linguistik, dan pendekatan antropologis.
Pendekatan Theologis
Secara harfiyah dapat diartikan sebagai upaya memehami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari satu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya. Dalam arti ajaran-ajaran yang sudah tertanam dalam hati, ketika seseorang yang ingin memahami seluk beluk agamanya, maka perlu baginya mempelajari theologi yang terdapat dalam agama yang diyakininya. Penggunaan pendekatan seperti ini dipakai oleh Syekh Nawawi al Bantani, agar seorang akan memiliki sikap mencintai dalam beragama yakni berpegang teguh kepada agama yang diyakininya sebagai yang benar.
Pendekatan Linguistik
Pendekatan ini menjadi warna pensyarahan kitabnya, pendekatan ini beliau pakai guna mensyarah hadis dengan kaedah-kaedah bahasa. Hal ini perlu dilakukan karena hadis diucapkan dengan bahasa Arab sehingga perlu dijelaskan secara etimologi. Pendekatan ini digunakan Nawawi al Bantani dalam mengkaji hadis-hadis dalam kitab Tanqih al Qaul al Hadis fi Syarh Lubab al Hadis, yaitu dengan menguraikan beberapa kosakata yang perlu dijelaskan sehingga diketahui posisi dan makna daripada kosakata tersebut secara tepat.
Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis dalam mensyarah hadis yaitu dengan mempertimbangkan perilaku dan tatanan nilai masyarakat. Kontribusi pendekatan ini yaitu membuat uraian apa yang sesungguhnya yang terjadi dengan manusia dalam berbagai situasi kaitannya dengan ruang dan waktu.pentingnya pendekatan ini, agar dapat menempatkan hadis pada masyarakat tertentu yang memilki budaya atau perilaku dan tatanan nilai berbeda masyrakat Arab sebagai situasi sosial muncul hadis. Dengan itu dalam pensyarahan hadis sangat diperlukan pemahaman akan budaya bagsa Arab.
Dalam pensyarahan hadis Syekh Nawawi al Bantani secara garis besar menggunakan metode ijmali seperti dalam kitab Tanqih al Qaul al Hadis fi Syarh Lubab al Hadis. Dalam arti metode ini dipakai untuk menjelaskan hadis secara global tanpa penjelasan rinci. Namun, pada hadis tertentu Nawawi al Bantani tidak menafikan metode tahlili dengan menjelaskan hadis dari aspek kebahasaan atau membandingkan dengan riwayat dan pendapat ulama yang lain.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI