Sehingga ketika terjadi kekeliruan pengucapan, kesalahan penukilan, atau kurang paham apa ynang diperoleh, maka dengan mudah dapat langsung merujuk kepada Nabi Muhammad Saw. Maka dari itu, sangat jarang ditemukan kekeliruan yang menonjol dalam periwayatan hadis pada fase Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw meyampaikan hadis-hadisnya dengan berbagai macam metode. Cara-cara ini ditempuhnya sesuai dengan keadaan dimana beliau berada. Kadang didepan orang banyak, kadang perorangan. Ada yang didahului melalui pertanyaan dan ada pula yang didahului tanpa pertanyaan dari sahabat. Berikut beberapa metode Nabi menyampaikan sabdanya.
Pertama, Nabi menyampaikan sabdanya melalui majelis ilmu, yaitu pusat dimana Nabi mengadakan pengajian untuk membina para jama’ah. Melalui majelis ini para sahabat berkesempatan untuk memperoleh banyak peulang untuk menerima hadis dari Rasulullah Saw. Kedua, Nabi menyampaikan sabdanya melalui sahabat-sahabat tertentu, yang kemudian sabda yang diperoleh oleh sahabat disampaikan kepada sahabat yang lainnya. Hal ini terjadi karena ketika Nabi menyampaikan suatu hadis, hanya beberapa sahabat saja yang hadir.
Ketiga, Nabi menyampaikan hadisnya melalui istri-istri-nya, terutama yang berkaitan dengan rumah tangga, seperti yang berkaitan dengan kebutuhan biologis, menyangkut persoalan hubungan suami istri. Keempat, melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka seperti saat futuh makkah dan haji wada’. Kelima, Nabi menyampaikan hadis melalui perbuatan yang disaksikan oleh para sahabat secara langsung. Seperti yang berkaitan dengan praktik ibadah dan muamalah.
Pada fase pertama ini, Rasulullah Saw melarang para sahabat untuk menulis sabdanya, karena dikhawatirkan akan tercampur dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang saat itu masih dalam proses penurunan (al tanzil). Sebagaimana sabda Rasulullah Saw
“Janganlah kalian tulis dariku (selain Al-Qur’an) dan barang siapa yang menulis dariku selain Al-Qur’an, maka hapuslah. Riwayatkan hadis dariku tidak apa-apa. Barangsiapa berdusta atas namaku maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.”
Hadis Pada Masa Sahabat | Fase Kedua
Pada fase ini para sahabat tidak bisa mendengar, melihat perbuatan-perbuatan yang dilakukan Nabi dan Ihwal-ihwal Nabi Saw secara langsung. Tindak tanduk Nabi, yang pada dasarnya bermuatan ajaran ilahi, hanya dapat diketahui melalui sahabat Nabi sebagai periwayat pertama yang menyampaikan sabda Nabi kepada kaum muslim. Para sahabat terus menjaga sabda Nabi, menegakkan ajaran Islam dan membantu dakwah Islam ke seluruh wilayah.
Masa ini dikenal dengan al tatsabut wa al iqlal min al riwayah yaitu masa pembatasan dan memperketat periwayatan. Karena pada saat itu fokus sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an dan mereka berusaha membatasi periwayatan hadis. Namun bukan berarti para sahabat tidak memegang hadis sebagai rujukan.
Mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri dalam meriwayatkan hadis. Hal ini disebabkan karena para sahabat khawatir akan terjadinya kekeliruan baik ketika menerima, menyampaikannya kepada sahabat lain ataupun kepada generasi berikutnya (tabi’in). Oleh karena itu para sahabat berusaha untuk memperketat periwayatannya dan penerimaan hadis Rasulullah Saw.
Sikap kehati-hatian sahabat terjadi ketika perpecahan umat Islam masa Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu terjadi pemalsuan hadis yang dilatarbelakangi oleh faktor politik. Dengan demikian, para sahabat menahan diri dari periwayatan hadis karena takut terjadi kesalahan dan dan dipakai untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.