Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Yuk, Belajar Sesat Pikir dari Tulisan Pepih Nugraha

16 Oktober 2015   05:25 Diperbarui: 16 Oktober 2015   05:25 2187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Artikel rejoinder saya kemarin sudah membantah premis-premis utama Pepih Nugraha berjudul: “Apakah Pantas Akun Pakde Kartono Diberangus?” (14/10/2015). Kali ini, saya ingin mengubah sudut pandangnya dengan menjadikan tulisan Pepih Nugraha sebagai “lahan” belajar sesat pikir (logical fallacy). Terangnya, saya mengidentifikasi sejumlah sesat pikir yang menurut hemat saya dapat menjadi bahan belajar bersama. Karena itu pula saya memasukkan tulisan ini ke kanal Humaniora.

Straw Man Fallacy

Straw Man Fallacy adalah sesat pikir informal yang terjadi ketika seseorang secara sengaja atau tidak sengaja misrepresenting posisi atau pandangan lawan diskusinya agar dapat dibantah dengan mudah.

Pepih Nugraha melakukan Straw Man Fallacy pada paragraf kedua ketika ia menulis: “Apa kata dunia Kompasiana menjadi tempat penampungan ide terpidana seperti GT dan menjadi media tempat terpidana itu menyampaikan gagasan atau pemikirannya?” [huruf miring dari saya sebagai penekanan].

Kalimat di atas merupakan misrepresentasi dari argumen-argumen mereka (termasuk saya!) yang menghendaki akun Pakde Kartono diberangus. Yang disuarakan bukan Kompasiana tidak boleh menjadi tempat penampungan gagasan dan pemikiran seorang Napi, dalam hal ini Gayus Tambunan. Yang disuarakan adalah menurut hukum, para Napi dilarang memiliki dan/atau menggunakan alat-alat elektronik semasa berstatus sebagai Napi. Dan implikasinya, keberadaan akun Pakde Kartono yang pemiliknya adalah Gayus Tambunan termasuk di adalah penggunanya yang memosting satu tulisan setiap hari menjadi salah (bukan inherently salah!) atas dasar hukum tersebut.

Pepih Nugraha menghilangkan acuan fundamental dari seruan pemberangusan akun Pakde Kartono dan sekadar menampilkan seruan tersebut seakan-akan seruan itu menggantung di ruang hampa dan dengan gampang ia mendapatkan contoh untuk misrepresentasi tersebut dari Andi Alifian Mallarangeng yang tulisannya dimuat di Viva.

Dan karena misrepresentasi di atas pula, Pepih Nugraha menggiring pembaca agar jika ada sesuatu yang salah pada akun Pakde Kartono maka bukan akunnya yang diberangus melainkan konten tulisannya (paragraf ke-8).

Isunya bukan seorang Napi boleh menulis atau tidak; bukan seorang Napi boleh menyampaikan gagasan dan pemikirannya atau tidak. Bukan ini isunya. Jika ini isunya, kita bisa mendapatkan banyak contoh nyata, salah satunya: Abu Bakar Ba’azir yang bahkan bisa menulis buku di dalam penjara.

Isunya di sini adalah larangan untuk memiliki dan menggunakan alat elektronik ketika seseorang berstatus sebagai Napi. Pertanyaannya adalah bagaimana Gayus Tambunan bisa ODOP tanpa memiliki dan menggunakan alat elektronik di dalam Lapas? Bagaimana ia bisa membuat akun online tanpa alat elektronik? Bahkan ketika ia meminta bantuan orang di luar Lapas (yang bukan Napi) untuk membuat akun itu, juga merupakan sesuatu yang dilarang. Karena ini termasuk di dalam bagian dari “kehilangan kemerdekaan” seperti yang diatur dalam UU.

Jadi, ya akun itu harus diberangus kecuali kalau Pepih Nugraha bersedia dengan sukarela mendeklarasikan bahwa ia dan Kompasiana siap melawan hukum demi Gayus Tambunan.

False Analogy

Saya sudah pernah menulis mengenai parameter-parameter logis untuk menggunakan argumen analogis. Sebuah analogi menjadi false analogy (analogi yang salah) ketika gagasan utama yang dianalogikan itu tidak berkontinuitas (tidak “nyambung”) dalam dua hal yang dianalogikan.

Analogi dari Mallaranggeng yang digunakan sebagai pendukung seorang Napi boleh menulis di media sosial menjadi “tidak nyambung” dengan kasus Gayus Tambunan. Argumen untuk poin ini telah saya kemukakan dalam rejoinder saya kemarin.

Ignoring the Counterevidence Fallacy

Dengan menyatakan bahwa seharusnya konten tulisan yang dihapus bukan akunnya yang diberangus berdasarkan aturan Dewan Pers, Pepih Nugraha melakukan ignoring the counterevidence fallacy

Sesat pikir di atas terjadi ketika seseorang mengabaikan begitu saja bukti dan/atau acuan fundamental dari argumen lawan diskusinya hanya karena bukti dan/atau acuan fundamental tersebut tidak menguntungkan posisinya.

Seruan untuk memberangus akun Pakde Kartono didasarkan atas aturan di atas termasuk komitmen anti-korupsi yang bukan hanya menjadi agenda nasional melainkan juga menjadi agenda internasional seperti yang terdapat dalam sejumlah trakat hukum internasional yang sudah pernah saya bahas pada saat kasus “Bali Nine” menggelora beberapa waktu lalu.

Pepih Nugraha sama sekali mengabaikan acuan-acuan fundamental di atas, tidak membahasnya sama sekali (kecuali soal apakah Napi boleh bermedsos yang imply-nya boleh!) lalu ia malah merujuk kepada aturan Dewan Pers.

Bahwa Dewan Pers tidak mengatur mengenai pemberangusan akun selain dari peninstaan agama, fitnah, dsb., yang sudah disebutkan Pepih Nugraha dalam tulisannya (paragraf ke-7), tidak berarti bahwa Dewan Pers melarang pemberangusan sebuah akun diluar dari hal-hal spesifik tersebut.

Ingat, UU di Negara ini lebih besar dari aturan Dewan Pers. Kita bernegara, tidak diatur terutama berdasarkan aturan Dewan Pers melainkan berdasarkan UU yang berlaku di Negara ini. Bahwa aturan Dewan Pers memiliki otoritas yang mengikat, itu menjadi tidak relevan ketika tidak ada larangan pemberangusan sebuah akun di luar dari hal-hal spesifik di atas. Bahkan jika ada larangan itu pada aturan Dewan Pers namun itu bertentangan dengan hukum yang berlaku di Negara ini, maka kita harus tunduk kepada hukum ketimbang aturan Dewan Pers!

Pertanyaannya, apakah aturan Dewan Pers di atas bertentangan dengan hukum serta komitmen anti-korupsi di atas? Tidak! Lalu mengapa Pepih Nugraha memilih untuk merujuk kepada aturan Dewan pers ketimbang acuan fundamental tersebut? Karena acuan ini lebih menguntungkan posisinya, maka ia harus mengabaikan acuan fundamental ini. Jika ia mengacu kepada acuan fundamental ini, maka pada kesempatan pertama ia harus memerintahkan para admins untuk segera memberangus akun Pakde Kartono!

Sebenarnya masih ada satu lagi sesat pikir yang teridentifikasi pada tulisan Pepih Nugraha yaitu merujuk kepada pembuktian yang tidak mungkin. Namun karena sesat pikir ini sudah saya bahas cukup detail dalam rejoinder kemarin, maka saya cukupkan sampai di sini. Terima kasih untuk artikelnya. Bagaimana pun, artikel tersebut tetap bermanfaat untuk kami dapat belajar sesuatu darinya: sesat pikir (logical fallacies).

Akhirnya, satu saran personal untuk Pepih Nugraha: kesalahan melahirkan kesalahan yang akan menjadi semacam lumpur hidup. Untuk keluar dari situ, sangat simple, akui dan benahi sesuai dengan yang benar. Dan yang benar adalah memberangus akun Pakde Kartono!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun