Saya sudah pernah menulis mengenai parameter-parameter logis untuk menggunakan argumen analogis. Sebuah analogi menjadi false analogy (analogi yang salah) ketika gagasan utama yang dianalogikan itu tidak berkontinuitas (tidak “nyambung”) dalam dua hal yang dianalogikan.
Analogi dari Mallaranggeng yang digunakan sebagai pendukung seorang Napi boleh menulis di media sosial menjadi “tidak nyambung” dengan kasus Gayus Tambunan. Argumen untuk poin ini telah saya kemukakan dalam rejoinder saya kemarin.
Ignoring the Counterevidence Fallacy
Dengan menyatakan bahwa seharusnya konten tulisan yang dihapus bukan akunnya yang diberangus berdasarkan aturan Dewan Pers, Pepih Nugraha melakukan ignoring the counterevidence fallacy.
Sesat pikir di atas terjadi ketika seseorang mengabaikan begitu saja bukti dan/atau acuan fundamental dari argumen lawan diskusinya hanya karena bukti dan/atau acuan fundamental tersebut tidak menguntungkan posisinya.
Seruan untuk memberangus akun Pakde Kartono didasarkan atas aturan di atas termasuk komitmen anti-korupsi yang bukan hanya menjadi agenda nasional melainkan juga menjadi agenda internasional seperti yang terdapat dalam sejumlah trakat hukum internasional yang sudah pernah saya bahas pada saat kasus “Bali Nine” menggelora beberapa waktu lalu.
Pepih Nugraha sama sekali mengabaikan acuan-acuan fundamental di atas, tidak membahasnya sama sekali (kecuali soal apakah Napi boleh bermedsos yang imply-nya boleh!) lalu ia malah merujuk kepada aturan Dewan Pers.
Bahwa Dewan Pers tidak mengatur mengenai pemberangusan akun selain dari peninstaan agama, fitnah, dsb., yang sudah disebutkan Pepih Nugraha dalam tulisannya (paragraf ke-7), tidak berarti bahwa Dewan Pers melarang pemberangusan sebuah akun diluar dari hal-hal spesifik tersebut.
Ingat, UU di Negara ini lebih besar dari aturan Dewan Pers. Kita bernegara, tidak diatur terutama berdasarkan aturan Dewan Pers melainkan berdasarkan UU yang berlaku di Negara ini. Bahwa aturan Dewan Pers memiliki otoritas yang mengikat, itu menjadi tidak relevan ketika tidak ada larangan pemberangusan sebuah akun di luar dari hal-hal spesifik di atas. Bahkan jika ada larangan itu pada aturan Dewan Pers namun itu bertentangan dengan hukum yang berlaku di Negara ini, maka kita harus tunduk kepada hukum ketimbang aturan Dewan Pers!
Pertanyaannya, apakah aturan Dewan Pers di atas bertentangan dengan hukum serta komitmen anti-korupsi di atas? Tidak! Lalu mengapa Pepih Nugraha memilih untuk merujuk kepada aturan Dewan pers ketimbang acuan fundamental tersebut? Karena acuan ini lebih menguntungkan posisinya, maka ia harus mengabaikan acuan fundamental ini. Jika ia mengacu kepada acuan fundamental ini, maka pada kesempatan pertama ia harus memerintahkan para admins untuk segera memberangus akun Pakde Kartono!
Sebenarnya masih ada satu lagi sesat pikir yang teridentifikasi pada tulisan Pepih Nugraha yaitu merujuk kepada pembuktian yang tidak mungkin. Namun karena sesat pikir ini sudah saya bahas cukup detail dalam rejoinder kemarin, maka saya cukupkan sampai di sini. Terima kasih untuk artikelnya. Bagaimana pun, artikel tersebut tetap bermanfaat untuk kami dapat belajar sesuatu darinya: sesat pikir (logical fallacies).