Terima kasih atas artikel responsif Pepih Nugraha berjudul: "Pantaskah Akun Pakde Kartono Diberangus?" (14/10/2015). Tulisan responsif tersebut, saya percaya termasuk respons terhadap sejumlah artikel terbaru saya (walau Pepih Nugraha sebenarnya mengabaikan begitu saja argumen-argumen saya dalam artikel-artikel tersebut), pada artikel terbarunya sangat stimulatif dan akan menjadi pokok utama dalam rejoinder ini.
Meski stimukatif, tulisan Pepih Nugraha tersebut sebenarnya tidak memuat argumen apa pun selain kesalahpahaman-kesalahpahaman yang akan saya perlihatkan dalam rejoinder ini. Artikel stimulatif Pepih Nugraha langsung mendorong munculnya dua pertanyaan krusial: Apakah ada bukti meyakinkan bahwa Gayus Tambunan adalah pemilik akun Pakde Kartono?; dan salahkah seorang narapidana bermedia sosial? Dua pertanyaan ini akan saya jawab dalam rejoinder ini.
Bukti Apa yang Anda Inginkan?
Bicara soal bukti, saya menggunakan dua kategori pembuktian yang sebenarnya dikenal juga dalam dunia hukum, yaitu: factum probans (fakta-fakta yang diajukan sebagai bukti) dan factum probandum (proposisi yang hendak dibuktikan). Factum probans itu bisa macam-macam: bukti fisik, testimoni, dan pendapat ahli. Sedangkan, factum probandum bisa disebut juga sebagai bukti logis (logical evidence) karena ia melibatkan aturan-aturan penalaran (logika) untuk mendukung sebuah klaim/dalil.
Karena itu, let’s start from the facts (factum probandum) kemudian saya akan menganalisisnya menggunakan beberapa kriteria pembuktian yang sudah pernah saya cantumkan dalam artikel terdahulu saya dalam rangka factum probandum-nya.
Sejauh ini, kita memiliki sejumlah bukti (facts):
- Ifani dan Vita Sinaga adalah dua Kompasianers (dari sekian banyak Kompasianers) yang sangat akrab dengan Pakde Kartono di Kompasiana.
- Beredarnya foto Gayus Tambunan bersama Vita Sinaga dan Ifani (foto di restoran) juga beredarnya foto Gayus Tambunan sedang menyetir sementara di sampingnya tampak wajah Vita Sinaga dengan jaket yang sama dengan jaket yang dikenakan Vita Sinaga pada foto di restoran.
- Ifani menulis artikel kopdaran bersama Gayus Tambunan yang di dalamnya terdapat foto “pamer jam tangan” (artikel ini sudah dihapus entah oleh siapa pasca beredarnya foto di restoran tersebut.
- Mendadak, Ifani “menghilang” dari Kompasiana berbarengan dengan penghapusan seluruh artikelnya (entah oleh siapa).
- Vita Sinaga masih muncul memberikan vote di beberapa artikel termasuk menulis komentar copasan dari artikel Baskoro yang di-HL beberapa hari lalu.
- Pada saat Gayus Tambunan dipindahkan ke Lapas Gunung Sindur, tidak lagi ada postingan di akun Pakde Kartono.
- Artikel klarifikasi di akun Pakde Kartono menyatakan bahwa ia adalah pengacara Gayus Tambunan yang disusul dengan klarifikasi Pepih Nugraha di Kompasiana TV berdasarkan pengakuan Vita Sinaga (melalui telpon) dan juga berdasarkan artikel klarifikasi tersebut.
Sekarang muncul semacam “hipotesis” bahwa pemilik akun Pakde Kartono adalah seorang lawyer ternama di Jakarta. Tetapi, “hipotesis” ini telah saya bantah dalam artikel-artikel saya. Tidak ada karakteristik seorang lawyer dalam seluruh tulisan Pakde Kartono yang berjumlah ribuan. Maka “hipotesis” ini menjadi sangat lemah dan terbuka untuk sekadar dianggap sebagai salah satu kemungkinan kecil karena sangat kuat nuansa “ad hoc”-nya, sekaligus tidak meng-cover seluruh fakta yang ada (explanatory scope) juga tidak memiliki kekuatan logis untuk menjelaskan seluruh fakta di atas (explanatory power). Dengan ketiadaan explanatory power, explanatory scope, dan less ad hoc, maka “hipotesis” bahwa pemilik akun Pakde Kartono adalah seorang lawyer menjadi sebuah ketidakmungkinan logis!
Di sisi lain, seluruh fakta di atas menjadi sangat masuk akal (memiliki plaussibility), ketika kita menyimpulkan bahwa Gayus Tambunan adalah pemilik akun Pakde Kartono. Ini bukan hanya masuk akal, melainkan juga memenuhi ketiga kriteria pembuktian lainnya yang sudah saya kemukakan di atas, yakni: less ad hoc, explanatory scope,dan explanatory power.
Dengan terpenuhinya kriteria-kriteria ini, klaim bahwa Gayus Tambunan adalah pemilik akun Pakde Kartono menjadi sebuah klaim yang tidak terbantahkan secara logis. Dan karena tidak terbantahkan secara logis, maka klaim ini harus dianggap sebagai bukti meyakinkan lainnya (logical evidence).
Tampaknya, Pepih Nugraha mengharapkan sebuah jenis pembuktian yang sangat pasti, dan jenis pembuktian itu adalah bukti yang tidak memiliki ruang kemungkinan lain apa pun. Well, jenis pembuktian semacam ini dalam kasus ini adalah ilusi semata. Sebuah jenis pembuktian yang tidak dapat diberikan, karena memang seperti kata Pepih Nugraha, “...hanya GT yang tahu”.
Pertanyaannya, mengapa harus jenis pembuktian itu yang dituntut oleh Pepih Nugraha? Apakah jenis pembuktian itu merupakan satu-satunya jenis pembuktian yang dapat kita harapkan untuk tiba pada kesimpulan meyakinkan mengenai isu ini? TIDAK (with capital letters!). Jenis pembuktian ini hanya bisa diharapkan di pengadilan (untuk sejumlah kecil kasus saja!), dan karena ini bukan pengadilan, Pepih Nugraha sedang mengharapkan sebuah jenis pembuktian yang tidak kontekstual!
Lagi pula, katakanlah ada seseorang yang didakwa membunuh karena kedapatan memegang sebilah pedang yang berlumuran darah sementara tidak jauh dari situ terdapat sosok jenasa tak bernyawa. Tidak seorang pun yang menyaksikan secara langsung terjadinya pembunuhan itu. Mengikuti alur argumen Pepih Nugraha, orang tersebut tidak dapat didakwa sebagai pembunuh karena tak seorang pun yang melihat secara langsung terjadiya pembunuhan itu. Tetapi apakah benar begitu? TIDAK. Orang dapat menggunakan pembuktian logis, berangkat dari fakta-fakta yang ada, untuk tiba pada kesimpulan meyakinkan bahwa ia adalah seorang pembunuh. Dan pembuktian logis itu adalah jenis bukti yang valid untuk menjadi acuan dakwaan!
Anda tidak perlu melihat angin untuk mengetahui ke arah mana angin berhembus, bukan? Dengan mengharapkan jenis pembuktian di atas, Pepih Nugraha lupa bahwa ini Kompasiana, bukan pengadilan!
Bolehkah Seorang Napi Bermedsos?
Pepih Nugraha memberikan false analogy mengenai Andi Alifian Mallarangeng karena tidak jelas apakah Andi Lifian Mallarangeng memiliki alat elektronik di dalam Lapas? Menayangkan sendiri tulisannya dengan alat elektronik yang ia punyai? Seberapa sering? Setiap hari (ODOP)? Gayus Tambunan (asumsikan saja berdasarkan argumen saya di atas bahwa ia adalah pemilik akun Pakde Kartono) memiliki alat elektronik di dalam Lapas dan karena memiliki alat elektronik di dalam Lapas, maka ia adalah komentator terbanyak di Kompasiana dengan “tekad” memosting sebuah tulisan per hari (ODOP).
Artinya, substansinya bukan hanya soal menulis di Kompasiana, melainkan juga bagaimana bisa ia menulis di Kompasiana setiap hari dan berkomentar paling banyak di Kompasiana jika ia tidak memiliki alat elektronik di dalam Lapas?!
Lalu, salahkah seorang Narapidana memiliki alat elektronik di dalam Lapas? Pertanyaan ini tanpa perlu panjang lebar, SALAH! Menurut Pepih Nugraha, mengapa kerap ada sidak di Lapas-lapas untuk “membersihkan” para Napi dari penggunaan alat elektronik jika itu tidak dianggap melanggar hukum?
Bahwa tidak ada reaksi dari Kemenhukam, itu bukan justifikasi bagi Kompasiana untuk "memelihara" akun Pakde Kartono ketika bukti logisnya sangat meyakinkan bahwa pemilik akun tersebut adalah Pakde Kartono.
Mengenai isu “kemerdekaan” bagi seorang Narapidana yang diangkat juga oleh Pepih Nugraha, telah saya bahas dalam artikel terdahulu saya. Menjadi seorang Narapidana berarti “kehilangan kemerdekaan”. Itu diatur dalam UU No. 12 Tahun 1995.
Berdasarkan argumen-argumen di atas, saya percaya bahwa akun Pakde Kartono harus dimatikan. Pemilik akun tersebut adalah Gayus Tambunan karena ia adalah seorang narapidana yang menurut UU, kehilangan kemerdekaannya, dalam hal ini menulis di media sosial (mengasumsikan penggunaan alat elektronik).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H