Lagi pula, katakanlah ada seseorang yang didakwa membunuh karena kedapatan memegang sebilah pedang yang berlumuran darah sementara tidak jauh dari situ terdapat sosok jenasa tak bernyawa. Tidak seorang pun yang menyaksikan secara langsung terjadinya pembunuhan itu. Mengikuti alur argumen Pepih Nugraha, orang tersebut tidak dapat didakwa sebagai pembunuh karena tak seorang pun yang melihat secara langsung terjadiya pembunuhan itu. Tetapi apakah benar begitu? TIDAK. Orang dapat menggunakan pembuktian logis, berangkat dari fakta-fakta yang ada, untuk tiba pada kesimpulan meyakinkan bahwa ia adalah seorang pembunuh. Dan pembuktian logis itu adalah jenis bukti yang valid untuk menjadi acuan dakwaan!
Anda tidak perlu melihat angin untuk mengetahui ke arah mana angin berhembus, bukan? Dengan mengharapkan jenis pembuktian di atas, Pepih Nugraha lupa bahwa ini Kompasiana, bukan pengadilan!
Bolehkah Seorang Napi Bermedsos?
Pepih Nugraha memberikan false analogy mengenai Andi Alifian Mallarangeng karena tidak jelas apakah Andi Lifian Mallarangeng memiliki alat elektronik di dalam Lapas? Menayangkan sendiri tulisannya dengan alat elektronik yang ia punyai? Seberapa sering? Setiap hari (ODOP)? Gayus Tambunan (asumsikan saja berdasarkan argumen saya di atas bahwa ia adalah pemilik akun Pakde Kartono) memiliki alat elektronik di dalam Lapas dan karena memiliki alat elektronik di dalam Lapas, maka ia adalah komentator terbanyak di Kompasiana dengan “tekad” memosting sebuah tulisan per hari (ODOP).
Artinya, substansinya bukan hanya soal menulis di Kompasiana, melainkan juga bagaimana bisa ia menulis di Kompasiana setiap hari dan berkomentar paling banyak di Kompasiana jika ia tidak memiliki alat elektronik di dalam Lapas?!
Lalu, salahkah seorang Narapidana memiliki alat elektronik di dalam Lapas? Pertanyaan ini tanpa perlu panjang lebar, SALAH! Menurut Pepih Nugraha, mengapa kerap ada sidak di Lapas-lapas untuk “membersihkan” para Napi dari penggunaan alat elektronik jika itu tidak dianggap melanggar hukum?
Bahwa tidak ada reaksi dari Kemenhukam, itu bukan justifikasi bagi Kompasiana untuk "memelihara" akun Pakde Kartono ketika bukti logisnya sangat meyakinkan bahwa pemilik akun tersebut adalah Pakde Kartono.
Mengenai isu “kemerdekaan” bagi seorang Narapidana yang diangkat juga oleh Pepih Nugraha, telah saya bahas dalam artikel terdahulu saya. Menjadi seorang Narapidana berarti “kehilangan kemerdekaan”. Itu diatur dalam UU No. 12 Tahun 1995.
Berdasarkan argumen-argumen di atas, saya percaya bahwa akun Pakde Kartono harus dimatikan. Pemilik akun tersebut adalah Gayus Tambunan karena ia adalah seorang narapidana yang menurut UU, kehilangan kemerdekaannya, dalam hal ini menulis di media sosial (mengasumsikan penggunaan alat elektronik).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H