Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Niat Korupsi Dapat Dipidana: Review Perdebatan Hendra Budiman dan Edi Abdullah

7 Maret 2015   05:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:03 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya mengawali review ini dengan menyampaikan apresiasi sebesar-besarnya untuk rekan Hendra Budiman (HB) dan Edi Abdullah (EA) yang memberikan pencerahan-pencerahan hukum yang bermanfaat bagi para Kompasianers melalui tulisan-tulisan mereka. Keduanya adalah Kompasianers dengan bidang kepakaran dalam bidang hukum. Hendra Budiman lulus dari Fakultas Hukum Universitas Islam Negeri Yogyakarta sedangkakn Edi Abdullah, seperti yang berjubel-jubel ada di profile akunnya, juga bisa diasumsikan menguasai bidang ini.

Review ini dimaksudkan untuk menggambarkan posisi argumentatif kedua Kompasianers di atas sekaligus mengemukakan sejumlah catatan kritis dari isi perdebatan mereka terkait: Apakah niat melakukan korupsi dapat dipidana? Adapun tulisan-tulisan kedua Kompasianers ini, yaitu:


  1. Hendra Budiman, "Niat Korupsi Dapat Dipidana", Kompasiana (5 Maret 2015).
  2. Edi Abdullah, "Niat Korupsi dalam RAPBD Tidak Dapat Dipidana Dengan UU Tindak Pidana Korupsi Maupun KUHP," Kompasiana (6 Maret 2015).
  3. Hendra Budiman, "Bantahan atas Tulisan Edi Abdullah: Niat Korupsi Dapat Dipidana," Kompasiana (6 Maret 2015).
  4. Edi Abdullah, "Jawaban Edi Abdullah atas Artikel Bantahan Niat Korupsi Dapat Dipidana," Kompasiana (6 Maret 2015).
  5. Hendra Budiman, "Teori Niat," Kompasiana (6 Maret 2015).


Konteks dan argumen HB

Konteks tulisan HB tanggapan atas pernyataan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta terkait kisruh "dana siluman": "Kasus inienggakmungkin sama, soalnya anggaran belum digunakan, baru disahkan. Jadi, belum kejadian (digunakan),”

HB membantah pernyataan di atas dengan pokok-pokok argumen berikut:


  1. Teori kesengajaan bersifat tujuan (oogmerk) dalam pasal 3 UU Tipikor;
  2. Kata "sengaja" (dolus) sinonim bersinonim "dengan sengajamengetahui tentang, dengan maksud (oogmerk), niat (voornemen),dan dengan rencana lebih dahulu (met voorbedachte rade) yang terdapat dalam pasal 3 dan pasal 15 UU Tipikor termasuk juga yang terdapat dalam pasal 53 KUHP.


Dengan demikian, HB menyimpulkan bahwa "niat melakukan korupsi" yang merupakan bagian dari "tindak pidana korupsi yang belum selesai dilakukan", dapat dipidanakan berdasarkan pasal 3 jo pasal 15 UU Tipikor.

Argumen EA

EA menolak klaim dan argumen HB di atas dengan sejumlah pokok argumen berikut ini:


  1. Tidak satu pasal pun dalam UU Tipikor yang mengatur bahwa niat melakukan korupsi dapat dipidanakan.
  2. Pasal 1- 15 UU Tipikor (dimana pasal 3 dan 15 dirujuk HB) di dalamnya tidak ada satu kata pun yang mengatur tentang "niat".
  3. Semua tindakan yang dipidanakan harus berwujud tindakan materil atau tindakan konkret (atau yang disebut HB sebagai post factum).
  4. Pasal 53 KUHP tentang poging merupakan pasal untuk tindak pidana umum.
  5. RAPBD bukan niat pribadi melainkan disusun secara bersamaan berdasarkan kesepakatan.
  6. RAPBD belum merupakan perwujudan perbuatan materil karena belum disahkan oleh Mendagri (poin 3-5 adalah tanggapan EA atas komentar saya di tulisannya).


Beberapa catatan kritis

Setelah menyimak pertukaran argumentasi legal (legal argumentations) di atas, saya ingin memberikan beberapa catatan kritis bagi kedua Kompasianers di atas.

Menurut konteksnya, yaitu kisruh RAPBD DKI Jakarta 2015 yang di dalamnya terindikasi penggelembungan dana yang tidak rasional, isunya bukanlagisekadar niat (sesuatu yang bersifat batiniah), melainkan sudah berwujud dalam bentuk tindakan awal (pencantuman jumlah dana yang tidak rasional dalam RAPBD tersebut). Hanya saja, ini bukan sebuah tindakan yang sudah selesai karena keburu dibongkar oleh Ahok.

Jika demikian, beberapa poin kritisnya adalah:


  1. Menurut konteksnya, dan juga menggunakan the principle of charity, argumentasi HB tidak boleh sekadar dipahami semata-mata merujuk kepada niat (yang bersifat batiniah dan tentu tidak bisa dibuktikan), melainkan niat yang sudah ada indikasi permulaannya.
  2. Jika begitu, apakah "tindakan awal" di atas sudah dapat tergolong sebagai perbuatan materil yang menjadi poin argumentasi EA atau tidak?
  3. Untuk rekan EA: atas inferensi logis yang bagaimanakah Anda mengklaim bahwa RAPBD itu harus disetujui terlebih dahulu baru boleh disebut mengandung pelanggaran hukum di dalamnya? Saya belum melihat argumen Anda untuk klaim krusial dari posisi Anda ini.
  4. Argumen rekan EA yang dalam bantahannya terhadap bantahan HB yang menyatakan bahwa tidak ada unsur niat yang di atur dalam UU Tipikor yang mendukung poin HB, sebenarnya merupakan klaim yang tidak perlu. Klaim ini tidak memperhitungkan argumen HB mengenai "niat" dan sinonim-sinonimnya seperti yang sudah dicantumkan di atas.
  5. Saya kira, CMIW, rekan HB mengasumsikan teori conditio sine qua non dalam legal argumenation maupun logical argumenation yang belum diperhitungkan dalam bantahan-bantahan rekan EA terhadap HB.


Demikian review dan sejumlah catatan kritis saya untuk dipertimbangkan  oleh kedua Kompasianers di atas jika masih ingin melanjutkan perdebatan. Ditunggu lanjutannya!

Salam Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun