Catatan kritis untuk Jokowi
Dalam reportase di atas, salah satu hal yang disentil juga adalah masalah safeguards yang memang merupakan customary international law (tradisi hukum internasional). Beberapa di antaranya:
- Mereka masih sementara mengajukan banding atas putusan PTUN;
- Jokowi menolak permohonan grasi itu secara massal, bukan case by case bahkan sebelum pengajuan grasi itu dikemukakan, Jokowi sudah melontarkan bahwa ia tidak akan memberikan grasi bagi para terpidana kasus narkoba tersebut.
Kedua hal di atas termasuk dalam poin-poin yang dilindung dalam Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty yang diatur dalam ICCPR dan juga diterima dalam The Economic and Social Council. Maka seperti yang sudah saya tuliskan dalam sebuah artikel terdahulu, Jokowi harus berhati-hati untuk tidak menyalahi prosedur-prosedur penting ini. Sebab, "...dari sisi obligatory-nya, ketika safeguards di atas telah dianggap sebagai “tradisi hukum internasional“, maka kita memang tidak dibenarkan untuk melakukan kesalahan prosedural menyangkut fair trial dan hak untuk mengajukan grasi dan komutasi."
Salam Kompasiana.
Referensi:
- John D. Bessler, "Revisiting Beccaria's Vision: Th Enlightenment, America's Death Penalty, and the Abolition Movement," Northwestern Journal of Law and Society Policy, Vol. 4, Issue 2 (2009): Article 1.
- Jixi Zhang, “Fair Trial in ICCPR,” Journal Politics and Law, Vol. 2, No. 4 (December 2009): 39-43.
- William A. Schabas, The Abolition of the Death Penalty in International Law(3rd ed.; Cambridge: Cambridge University Press, 2002).
- Christy A. Short, “The Abolition of the Death Penalty: Does ‘Abolition’ Really Mean What You Think It Means?,” Indiana Journal of Global Legal Studies, Vol. 6, Issue 2 (1999): 721-756.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H