Teori lain yang sering diacu juga untuk menolak hukuman mati bagi para terpidana mati kasus narkoba itu adalah teori remedial atau teori korektif. Hukuman mati dianggap menutup aspek remedial dan korektif itu sama sekali, khususnya bagi para pelaku kejahatan tersebut. Sekali lagi, mereka benar secara teoritis. Benar karena memang ketika seseorang dihukum mati, aspek korektif dan remedial bagi yang bersangkutan tereliminasi sama sekali!
Secara praktis, teori remedial di atas tidak sepenuhnya menjanjikan. Kenyataan di lapas-lapas di Indonesia, jumlah para kriminal yang "bertobat" (dalam arti sadar akan nilai korektif dan remedial dari hukumannya) tidak memperlihatkan angka yang signifikan. Misalnya, saya sudah menulis sebuah artikel dua hari yang lalu bahwa di berbagai lapas di Indonesia, para kriminal itu justru semakin menjadi-jadi kelakuan tak taat hukumnya. Mereka memiliki: HP, laptop, AC, dan alat-alat elektronik lainnya yang dilarang untuk mereka miliki selama menjalani masa hukuman. Para sipir penjara sendiri ikut bermain dalam bisnis haram tersebut. Bukan hanya itu, menurut laporan Badan Narkotika Nasional di awal tahun 2015, 60% bisnis narkoba dikendalikan dari dalam penjara. (baca di sini).
Itulah sebabnya, dalam interaksi saya akhir-akhir ini dengan para Kompasianers yang mengajak diskusi mengenai hukuman mati, saya menyatakan bahwa jika saya mengajukan pembelaan terhadap hukuman mati, saya tidak akan mengacu semata-mata kepada teori prefentif di atas.
Yang paling mendasar bagi saya adalah bahwa hukuman mati itu harus dilihat dari aspek objektifnya (retributif teori). Hukuman mati diterapkan bagi kejahatan-kejahatan yang pantas untuk dihukum mati yang disebut sebagai the most serious crimes dalam ICCPR.
Saya berharap akan menulis sebuah artikel lanjutan lagi berisi argumen-argumen saya mengenai legitimasi pelaksanaan hukuman mati bagi the most serious crimes dalam konteks Indonesia, karena di sini saya ingin segera meresponsi tawaran "barter"-nya Menlu Australia, Julie Bishop.
Tawaran Bishop
Bishop, seperti yang ditulis di Kompas.com, "...menawarkan untuk merepatriasi tiga warga Indonesia terpidana kasus narkoba dari Australia demi membatalkan pelaksanaan eksekusi terpidana mati Bali Nine. Namun, Pemerintah Indonesia tidak menerima tawaran tersebut." (sumber).
Sebelum melanjutkan, saya ingin Anda membaca reportase di Kompas.com yang linknya saya cantumkan di atas, karena di sini saya akan langsung memberikan argumen persetujuan terhadap penolakan pemerintah Indonesia terkait tawaran di atas.
Pertama, tawaran itu in a way merupakan sesuatu yang ironis. Ironis karena mereka yang menganut abolisionisme berargumentasi dari aspek moral bahwa hukuman mati "...reduced humanity to become a mere tool to reach an objective." Australia sebagai salah satu negara abolisionis, melalui pengajuan barter itu, persis melakukan apa yang menjadi kritikan dari mereka yang menganut abolisionisme terhadap pelaksanaan hukuman mati.
Kedua, mereka mengajukan penyesalan dari kedua terpidana mati itu sebagai bahan pertimbangan agar keduanya tidak dihukum mati. Di samping kita bergembira karena ada pelaku kejahatan yang bertobat, tetapi bertobat itu sendiri tidak meniadakan kejahatan yang sudah mereka lakukan. Mereka dihukum atas apa yang sudah mereka lakukan termasuk juga dampak yang ditimbulkan oleh perdagangan narkoba yang dalam kata-kata saya: "bukan membunuh individu-individu, melainkan membunuh generasi-generasi di Indonesia!"
Dan ketiga, mereka mengajukan konsep pengampunan dan kasih. Ini juga ironis. Saya percaya, Australia dipengaruhi kuat oleh Kekristenan yang memang sangat menojol penekanannya akan pengampunan dan kasih. Tetapi, sebagai seorang teolog Kristen yang punya kualifikasi akademis dalam bidang ini, saya melihat argumen itu cacat. Mereka lupa bahwa Kekristenan membicarakan kasih dan pengampunan secara seimbang dengan pembicaraan mengenai keadilan. Kasih tidak meniadakan dan/atau mereduksi keadilan; juga sebaliknya keadilan tidak meniadakan dan/atau mereduksi kasih. Mengajukan kasih dan pengampunan demi mereduksi keadilan (dalam konteks ini tidak menghukum mati para pelaku kejahatan narkoba itu), berarti mereka tidak mempertimbangkan antinomi (ada beberapa teolog yang menyebutnya: paradoks) antara kasih dan keadilan!