Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menteri Yuddy, Prof. Romli, dan Edukasi Buruk bagi Publik!

4 Maret 2015   09:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:11 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya perlu mengawali tulisan ini dengan memberikan kredit kepada rekan Kompasianer Hendra Budiman yang telah banyak memberikan pencerahan hukum, bidang kepakarannya, bagi para Kompasianers. Bagi saya, bukan soal pencerahan hukum per se yang patut diapresiasi. Kita bisa mendapatkan informasi-informasi seperti itu di tempat lain. Yang paling fundamental adalah saya melihat luapan keprihatinan yang pro-rakyat atas karut marut di bidang hukum. Indonesia memerlukan orang-orang seperti ini untuk mengawal pemerintahan Jokowi sesuai dengan bidang kepakaran mereka dari kaki tangan Jokowi yang sudah beberapa kali memperlihatkan kekonyolan di hadapan publik.

Sejak tahun 2008, saya cukup bergulat dengan International Treaties, namun saya tidak mendalami hukum positif serta perkembangan kontemporernya di Indonesia. Itulah sebabnya, tulisan ini mengasumsikan argumentasi-argumentasi hukum (legal argumentations) dalam tulisan rekan Hendra Budiman mengenai celotehan Menteri Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Yuddy Chrisnandi dan Profesor Romli Atmasasmita.

Sebagaimana keprihatinan di atas, keprihatinan serupa juga bisa dikemukakan berdasarkan bedahan logika. Logika adalah hukum-hukum penalaran yang sifatnya universal. Sebuah peradaban yang beradab mestinya adalah peradaban yang logis. Implikasinya, para pemimpin publik (public leaders) mestinya adalah figur-figur yang menjadi icons dari sebuah peradaban yang logis.

Saya akan kembali kepada paragraf di atas, namun saya ingin langsung membedah celotehan Yuddy dan Romli terlebih dahulu. Yuddy dan Romli meresponsi aksi unjuk rasa para pegawai KPK yang menolak pelimpahan kasus Komjen Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung.

Non sequitur

Saya akan mulai dengan argumen resistensif Yuddy terlebih dahulu, yang saya perlu kutip, demikian:

Tidak boleh tolak menolak. Ikuti prosedur institusi. Semua ada prosedur hukumnya. Semua saling menghormati tugasnya masing masing dan diikuti kesepakatan para pimpinan dan tak boleh pembangkangan (sumber).

Jika kita menerjemahkan argumen di atas dalam bentuk struktur argumentasi, maka bentuknya akan terlihat seperti di bawah ini:


  1. Semua [keputusan pimpinan KPK] ada prosedur hukumnya (premis)
  2. Keputusan mengenai pelimpahan kasus BG ke Kejaksaan Agung ada prosedur hukumnya (premis implisit dari konteksnya)
  3. [Para pegawai KPK] harus mengikuti prosedur hukum (premis)
  4. Para pegawai KPK harus menghormati tugas dan keputusan para pimpinan KPK [terkait pelimpahan kasus BG] (premis)
  5. Menghormati tugas dan keputusan para pimpinan KPK berarti tidak boleh menolak dan membangkang (permis implisit dari premis 4 dan konteksnya)
  6. [Unjuk rasa para pegawai KPK] merupakan pembangkangan (konklusi).

Argumen di atas merupakan argumen yang invalid (tidak sah). Invalid karena kesimpulannya tidak diharuskan oleh premis-premisnya. Yuddy menarik kesimpulan yang cacat (flawed) dari premis 5 yang sebenarnya adalah premis yang cacat pula. Premis 5 cacat karena "menghormati" tidak harus diikuti secara logis dengan "menerima" (acceptance) yang mengasumsikan "persetujuan" (agreement). Misalnya, saya bisa tetap menghormati ayah saya tanpa harus setuju dan menerima semua petuahnya. Selain itu, unjuk rasa tidak sama dengan "pembangkangan" dalam arti melakukan resistensi yang tidak seharusnya.

Menarik kesimpulan yang tidak diharuskan secara logis dari premis yang juga tidak mengandung keharusan logis, dalam logika dikenal dengan sebutan non sequitur fallacy. Sesat pikir non sequitur (literal: doesn't follow) terjadi ketika orang menarik kesimpulan yang tidak diharuskan secara logis oleh premis-premisnya termasuk juga menarik kesimpulan yang tidak diharuskan secara logis dari premis yang tidak mengandung keharusan logis.

Argumentum ad baculum

Saya tidak membahas argumen profesor Ramli secara detail karena Ramli sekadar menyebutkan bahwa unjuk rasa para pegawai KPK tersebut melanggar Peraturan KPK Nomor 5 KPK Tahun 2006 tanpa memperlihatkan bagian mana yang dilanggar dari peraturan tersebut. Ini adalah taktik sesat yang disebut dengan imagined reason. Anda melontarkan A sebagai bukti; orang membayangkan bahwa A merupakan bukti untuk menerima kesimpulan Anda (padahal Anda seharusnya memperlihatkan mengapa A merupakan bukti bagi kesimpulan Anda).

Yang menarik adalah baik Yuddy maupun Ramli menyertakan ancaman setelah mereka melontarkan klaim mereka mengenai unjuk rasa para pegawai KPK tersebut. Namun, seperti yang sudah diperlihatkan di atas, ancaman ini didasarkan atas sesat pikir (logical fallacies).

Dalam logika, mengemukakan sebuah ancaman terhadap lawan Anda tanpa dasar yang valid dan sound, berarti Anda melakukan sesat pikir yang lain lagi bernama: argumentum ad baculum. Seperrti yang dijelaskan Madsen Pirie,

The fallacy of the argumentum ad baculum lies in its introduction of irrelevant material into the argument. Strictly speaking, it leaves the argument behind, moving on to force as a means of persuasion.

Kedua tokoh terhormat di atas menggunakan ancaman sebagai sarana persuasi yang sebenarnya tidak relevan untuk digunakan karena mendasarkannya di atas argumen-argumen yang cacat secara logis.

*********

Semua orang berpotensi melakukan sesat pikir. Saya pun begitu. Tetapi ini bukan poin tulisan ini. Dari segi dampak edukasi publiknya, sesat pikir dari kedua public leaders ini mestinya dianggap sebagai "sesuatu banget". Kalau saya yang bukan siapa-siapa melakukan sesat pikir dalam obrolan sehari-hari (saya sangat berhati-hati apalagi dalam hal menulis opini di media), mungkin orang tidak akan terlalu mempermasalahkannya. Tidak ada dampaknya bagi publik. Tetapi, seperti isi salah satu paragraf saya di atas, jika tokoh-tokoh yang dianggap "otoritatif" bahkan sering diacu opini mereka di media dan menempati posisi pemimpin publik melakukan sesat pikir, mereka memberikan edukasi yang buruk kepada publik.

Sayang sekali!

Referensi:


  1. Madsen Pirie, How to Win Every Argument: The Use and Abuse of Logic (London/New York: Continuum, 2006).
  2. T. Edward Damer, Attacking Faulty Reasoning: A Practical Guide to Fallacy-Free Argument (6th. ed.; Belmont, CA.: Wadsworth, 2009).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun