Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Jawaban Aristoteles Terhadap Isu SARA yang Menimpa Jokowi

13 Mei 2014   23:06 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:32 1467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SARA [Suku, Agama, Ras, dan Antar-Golongan] merupakan akronim yang merujuk kepada sikap atau perlakuan diskriminatif terhadap seseorang atau sekolompok orang semata-mata berdasarkan latar belakang suku, agama, ras, dan antar-golongan.


Ngomong-ngomong tentang SARA, saya koq melihat ada propaganda yang cukup gigih di Kompasiana untuk "menyuci" otak kita bahwa SARA itu "tidak apa-apa".

Propaganda yang gigih itu, sejauh yang saya amati, berhubungan erat dengan momentum Pilpres 2014. Dan yang seringkali menjadi sasaran tembak adalah Jokowi: Cina, ada "darah" Kristen!

Sebenarnya, sekadar menyatakan bahwa Jokowi itu memiliki darah Cina dan berhubungan dengan Kristen (terlepas dari benar atau tidak benar demikian), itu pada dirinya sendiri (in itself) bukan isu SARA. Misalnya, Anda menyatakan "Nararya itu Kristen dan berasal dari Rote". Pernyataan seperti bukan terkategori SARA. Pernyataan ini semata-mata merupakan pendeskripsian tentang latar belakang agama dan suku saya.

Tetapi, pernyataan semacam di atas akan menjadi isu SARA, misalnya, jika Anda mempropagandakan itu supaya saya tidak terpilih menjadi Presiden RI (siapa tahu satu saat nanti, toh?). Ini menjadi isu SARA karena latar belakang agama dan suku saya dijadikan alasan propaganda hitam terhadap peluang saya untuk menduduki kursi kepresidenan.

*********

Kemarin saya memosting tulisan bahwa saya akan membahas mengenai logic dari tulisan Aristoteles yang berjudul: Sophistical Refutations. Sebenarnya tulisan ini belum secara spesifik membahas isi tulisan tersebut. Anggap saja, ini adalah sebuah pengantar untuk memahami secara umum, maksud Aristoteles menulis buku tersebut. Maka, saya akan menempatkan itu dalam konteks popular saat ini, yaitu isu SARA menjelang Pilpres 2004.

Dalam tulisan saya kemarin, saya menyatakan bahwa Aristoteles menulis buku tersebut untuk memenuhi dua objektif: pertama, mengapa sebuah sesat pikir itu salah; dan kedua, mengapa ia tampak benar.

Dalam Shopistical Refutations, Aristoteles menyatakan bahwa sesat pikir itu salah karena ia melanggar prinsip-prinsip penalaran yang sehat.

Di sisi lain, sesat pikir itu tampak benar, karena si pengguna argumen fallacious itu mengasumsikan presuposisi-presuposisi tertentu yang salah mengenai premis yang diajukannya.

Tolong diingat dua prinsip penting di atas. Karena berikut ini, saya akan menggunakan skema tersebut untuk membedah isu SARA menjelang Pilpres 2014.

*******

Mengapa SARA itu salah? Jawaban untuk pertanyaan ini sebenarnya sudah bisa dilihat pada definisi di atas. SARA itu salah, karena adanya upaya atau sikap mendiskreditkan seseorang atau sekelompok orang atas alasan suku, agama, ras, dan antar-golong untuk mendapatkan perlakuan yang sama yang dilindungi oleh UUD 1945.

Sikap pendiskreditan itu salah karena sikap itu bertentangan (mutually exclusive) dengan undang-undang mengenai HAM dan Agama dalam UUD 1945 (ps. 28, 29). Betul bahwa ada perlindungan hukum untuk kebebasan berpendapat, tetapi kebebasan yang dimaksudkan di sini adalah kebebasan yang bertanggung jawab dan kebebasan yang bertanggung jawab berarti kebebasan yang tidak melanggar hukum atau perundang-undangan yang berlaku.

*********

Mengapa SARA itu dianggap benar? Mengacu kepada resolusi Aristoteles di atas, SARA itu dianggap benar oleh pihak tertentu, karena mereka mempresuposisikan sejumlah proposisi yang salah untuk membenarkan SARA. Dan lebih itu juga berarti presuposisi-presuposisi yang salah itu pun dianggap benar, walau salah!

Untuk menggambarkan hal ini, saya akan menampilkan isi diksusi saya dengan salah seorang Kompasianer mengenai isu SARA di lapak Mas Gatot. Konteks dari diskusi di bawah adalah komentar Akhmad mengenai latar belakang silsilah Jokowi. Bagi Akhmad, seharusnya Jokowi memberikan klarifikasi terhadap pertanyaan-pertanyaan di seputar latar belakang Jokowi. Saya menanggapi bahwa komentar yang demikian mengasumsikan logika "cerdas-cermat", dan itu tidak patut. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu mengandung presuposisi, dan presuposisi itu harus jelas terlebih dahulu sebelum kita menentukan apakah pertanyaan itu perlu dijawab atau tidak. Jika presuposisinya salah, maka pertanyaannya tidak perlu dijawab, melainkan presuposisinya-lah yang perlu dibenarin. Lanjutan dari diskusi itu akan saya tampilkan pada screenshots di bawah ini:

1399970574661491188
1399970574661491188
Rupanya, Akhmad menganggap bahwa SARA itu "tidak apa-apa" karena: Pertama, Jokowi membutuhkan suara umat Islam. Dengan mengemukakan premis ini, sebenarnya Akhmad sedang membawa umat Islam yang dirujuknya dalam komentar tersebut ke dalam masalah besar. Mengapa masalah besar? Karena imply-nya, umat Islam yang dimaksudkan Akhmad menjadikan SARA (dalam konteks ini silsilah Jokowi) sebagai acuan untuk memberikan atau tidak memberikan suara kepada Jokowi. Dan itu juga berarti, Akhmad sedang menjerumuskan umat Islam yang dirujuknya ke dalam kubangan paradigma sesat bernama SARA. Rupanya Akhad adalah pembela yang buruk di sini!

Kedua, SARA itu "tidak apa-apa" menurut Akhmad, karena "SARA itu selalu ada". Jadi, Akhmad membenarkan SARA berdasarkan faktualitas empirisnya. Dan terhadap presuposisi palsu ini, saya menggunakan reductio ad absurdum untuk memberanggusnya. Reductio ad absurdum yang saya gunakan lebih bersifat analogis.

Sebagai catatan, reductio ad absurdum adalah salah satu jenis penalaran yang digunakan untuk mereduksi argumen lawan hingga pada titik absurd. Artinya, di satu sisi lawan tidak dapat menolak implikasi absurd itu, namun pada saat yang sama ia tidak menginginkan implikasi itu.

Saya mengambil "korupsi" sebagai analogi untuk SARA. Dengan mengambil "korupsi" sebagai analogi, sebenarnya saya sudah bisa menduga bahwa itu skak mat bagi argumen Akhmad. Akhmad tidak mungkin membenarkan korupsi. Dan jika ia tidak mungkin membenarkan korupsi, maka implikasinya, ia pun seharusnya tidak membenarkan SARA.

Jadi, rupanya Akhmad membenarkan SARA karena ia mempresuposisikan presuposisi yang salah mengenai SARA, yaitu faktualitas empirisnya!

********

Pertanyaan selanjutnya, apakah benar SARA itu setara secara analogis dengan korupsi? Jika tidak setara, maka saya melakukan false analogy di atas.

Titik hubung analogis yang saya tonjolkan dalam reductio ad absurdum di atas adalah bahwa baik SARA maupun korupsi merupakan dua hal yang sama-sama melanggar UU. Dan karena Anda tidak dapat membenarkan SARA sementara Anda menolak korupsi, maka adalah sah untuk menganalogikan kesalahan SARA sebagaimana Anda mengasumsikan kesalahan korupsi.

Jadi sekarang saya berharap saya telah meletakkan dasar yang kokoh untuk memproklamirkan seruan saya supaya mulai sekarang berhentilah untuk melakukan SARA!

********

Bagi kawan-kawan yang sudah membaca serta menyatakan tertarik belajar dari Aristoteles, sekarang Anda sekalian bisa melihat bahwa legacy Aristoteles dapat diaplikasikan bahkan untuk kasus-kasus yang mungkin Anda pikir Aristoteles tidak ada hubungan dengannya.

Tapi koq judulnya: "Jawaban Aristoteles", Aristoteles kan sudah mati? hahahaha mengajukan pertanyaan ini, berarti Anda mengasumsikan presuposisi yang salah mengenai "jawaban" dan "Aristoteles". Tapi sudahlah. Nanti kepanjangan.

Ya udah gitu aja dulu!

Semoga bermanfaat; dan Salam Kompasiana!

Sumber Screenshots: Di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun