Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Jawaban Aristoteles Terhadap Isu SARA yang Menimpa Jokowi

13 Mei 2014   23:06 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:32 1467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*******

Mengapa SARA itu salah? Jawaban untuk pertanyaan ini sebenarnya sudah bisa dilihat pada definisi di atas. SARA itu salah, karena adanya upaya atau sikap mendiskreditkan seseorang atau sekelompok orang atas alasan suku, agama, ras, dan antar-golong untuk mendapatkan perlakuan yang sama yang dilindungi oleh UUD 1945.

Sikap pendiskreditan itu salah karena sikap itu bertentangan (mutually exclusive) dengan undang-undang mengenai HAM dan Agama dalam UUD 1945 (ps. 28, 29). Betul bahwa ada perlindungan hukum untuk kebebasan berpendapat, tetapi kebebasan yang dimaksudkan di sini adalah kebebasan yang bertanggung jawab dan kebebasan yang bertanggung jawab berarti kebebasan yang tidak melanggar hukum atau perundang-undangan yang berlaku.

*********

Mengapa SARA itu dianggap benar? Mengacu kepada resolusi Aristoteles di atas, SARA itu dianggap benar oleh pihak tertentu, karena mereka mempresuposisikan sejumlah proposisi yang salah untuk membenarkan SARA. Dan lebih itu juga berarti presuposisi-presuposisi yang salah itu pun dianggap benar, walau salah!

Untuk menggambarkan hal ini, saya akan menampilkan isi diksusi saya dengan salah seorang Kompasianer mengenai isu SARA di lapak Mas Gatot. Konteks dari diskusi di bawah adalah komentar Akhmad mengenai latar belakang silsilah Jokowi. Bagi Akhmad, seharusnya Jokowi memberikan klarifikasi terhadap pertanyaan-pertanyaan di seputar latar belakang Jokowi. Saya menanggapi bahwa komentar yang demikian mengasumsikan logika "cerdas-cermat", dan itu tidak patut. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu mengandung presuposisi, dan presuposisi itu harus jelas terlebih dahulu sebelum kita menentukan apakah pertanyaan itu perlu dijawab atau tidak. Jika presuposisinya salah, maka pertanyaannya tidak perlu dijawab, melainkan presuposisinya-lah yang perlu dibenarin. Lanjutan dari diskusi itu akan saya tampilkan pada screenshots di bawah ini:

13999707141167772031
13999707141167772031
1399970574661491188
1399970574661491188
Rupanya, Akhmad menganggap bahwa SARA itu "tidak apa-apa" karena: Pertama, Jokowi membutuhkan suara umat Islam. Dengan mengemukakan premis ini, sebenarnya Akhmad sedang membawa umat Islam yang dirujuknya dalam komentar tersebut ke dalam masalah besar. Mengapa masalah besar? Karena imply-nya, umat Islam yang dimaksudkan Akhmad menjadikan SARA (dalam konteks ini silsilah Jokowi) sebagai acuan untuk memberikan atau tidak memberikan suara kepada Jokowi. Dan itu juga berarti, Akhmad sedang menjerumuskan umat Islam yang dirujuknya ke dalam kubangan paradigma sesat bernama SARA. Rupanya Akhad adalah pembela yang buruk di sini!

Kedua, SARA itu "tidak apa-apa" menurut Akhmad, karena "SARA itu selalu ada". Jadi, Akhmad membenarkan SARA berdasarkan faktualitas empirisnya. Dan terhadap presuposisi palsu ini, saya menggunakan reductio ad absurdum untuk memberanggusnya. Reductio ad absurdum yang saya gunakan lebih bersifat analogis.

Sebagai catatan, reductio ad absurdum adalah salah satu jenis penalaran yang digunakan untuk mereduksi argumen lawan hingga pada titik absurd. Artinya, di satu sisi lawan tidak dapat menolak implikasi absurd itu, namun pada saat yang sama ia tidak menginginkan implikasi itu.

Saya mengambil "korupsi" sebagai analogi untuk SARA. Dengan mengambil "korupsi" sebagai analogi, sebenarnya saya sudah bisa menduga bahwa itu skak mat bagi argumen Akhmad. Akhmad tidak mungkin membenarkan korupsi. Dan jika ia tidak mungkin membenarkan korupsi, maka implikasinya, ia pun seharusnya tidak membenarkan SARA.

Jadi, rupanya Akhmad membenarkan SARA karena ia mempresuposisikan presuposisi yang salah mengenai SARA, yaitu faktualitas empirisnya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun