[caption id="attachment_336694" align="aligncenter" width="647" caption="Ketua Umum PDI Perjuangan (KOMPAS.com/Dany Permana)"][/caption]
Logika dan politik, nyambung? Pasti! Logika (hukum-hukum penalaran) itu sifatnya universal maka dalam bidang apa pun, Anda tidak dapat menyimpan logika di saku celana Anda dan mencuap-cuap tanpa perlu memperhatikan logika.
Dalam tulisan ini, saya akan membahas tentang isi pidato Megawati yang ramai ditafsirkan sebagai pesan implisit bahwa Jokowi adalah boneka PDIP yang dipimpin oleh Megawati. Pembahasan ini akan dilakukan dengan merujuk kepada salah satu kriteria argumen yang sehat, yaitu prinsip atau kriteria charity (murah hati).
Kriteria Charity
Dalam bukunya yang berjudul: Attacking Faulty Reasoning: A Practical Guide to Fallacy-Free Argument (6th edition; Belmont, CA.: Wadsworth, 2009), 19, T. Edward Damer (seorang filsuf asal Amerika), menjelaskan prinsip charity dalam berargumen, demikian:
Jika argumen dari seorang partisipan (arguer)Â diformulasi ulang oleh seorang lawan diskusi (opponent), itu harus dilakukan secara sangat hati-hati dalam versi terkuat yang paling mungkin konsisten dengan maksud yang sebenarnya dari sang partisipan tersebut (the original intention of the arguer).
Pada halaman yang sama juga, Damer menyatakan bahwa jika ada bagian-bagian yang secara implisit maupun eksplisit dari reformulasi itu yang tidak mewakili maksud original dari sang partisipan tersebut (arguer), maka sang partisipan harus diberi benefit untuk mengamendasi (mengubah) reformulasi tersebut yang cocok dengan maksud originalnya.
Berdasarkan deskripsi mengenai prinsip charity di atas, saya perlu menggarisbawahi dua anasir penting di dalamnya:
- Maksud original sang arguer menjadi patokan mutlak dalam evaluasi terhadap reformulasi atau interpretasi (tafsiran) dari pihak lain terhadap klaim dan argumen dari pihak lain.
- Yang harus direvisi adalah reformulasi atau tafsiran dari pihak lain ketika bisa diperlihatkan (baik oleh sang arguer sendiri maupun oleh pihak yang lain lagi)Â bahwa reformulasi atau tafsiran tersebut tidak mewakili maksud original dari sang arguer. Dengan kata lain, tidak dibenarkan bagi seorang partisipan untuk mempertahankan reformulasi atau tafsirannya, ketika ada versi terkuat alternatif yang paling mungkin mewakili maksud sang arguer!
Kontroversi Isi Pidato Megawati
Pada hari Rabu, 14 Mei 2014, Megawati dalam pidatonya saat deklarasi koalisi PDIP, Partai Nasdem, dan PKB di kantor DPP PDIP, Lenteng Agung, Jakarta, menyatakan:
"Saya pesan ke Pak Jokowi, sampeyan tak [saya]Â jadikan capres. Tapi jangan lupa ingat capresnya saja, Anda adalah petugas partai yang harus melaksanakan apa yang ditugaskan partai" (sumber).
Anak kalimat terakhir dalam isi pidato Megawati di atas, rupanya ditafsirkan secara beragam oleh pihak-pihak tertentu. Beberapa di antaranya, akan saya kemukakan ulang di bawah ini.
1. Jokowi adalah boneka Megawati
Tafsiran ini dikemukakan oleh Taslim Chaniago, anggota DPR Partai Amanat Nasional (PAN). Taslim menyatakan,
"Kalau terpilih sebagai presiden Jokowi hanya jadi boneka Megawati dan PDIP saja. Itu artinya apa pun kebijakan Jokowi harus sesuai perintah Megawati. Jokowi tidak punya kewenangan saat memimpin negeri" (sumber).
Jadi menurut Chaniago, kata-kata Megawati di atas merupakan semacam peringatan implisit kepada Jokowi untuk selalu tunduk kepada apa pun yang dikehendaki Megawati. Secara analogis, Jokowi adalah boneka Megawati!
2. Megawati belum iklas menjadikan Jokowi sebagai Capres
Selain tafsiran di atas, Taslim juga menganggap kata-kata Megawati tersebut mengekspresikan kondisi batin Megawati yang belum legowo (ikhlas) menjadikan Jokowi sebagai Capres. Bagi Taslim, kata-kata itu mencerminkan dilema batiniah Megawati yang di satu sisi sadar bahwa tingkat elektibilitasnya lebih kecil ketimbang Jokowi namun di sisi lainnya Megawati "masih menganggap dirinya Presiden". Dengan kata lain, demikian menurut Taslim: "Saya menangkap, apa yang disampaikan Megawati itu membuktikan bahwa Megawati ingin menjadi presiden" (sumber).
Sampai di sini, kita mendapati dua usulan tafsiran dari Taslim terhadap isi pidato Megawati di atas. Sekarang yang paling fundamental untuk ditanyakan adalah atas dasar apa kita harus menerima dua tafsiran di atas? Kita tidak dapat menerima sebuah tafsiran jika tidak ada argumen (alasan) yang kuat yang melandasi penerimaan kita terhadapnya. Apakah Tamsil mempresentasikan versi terkuat yang paling mungkin mewakili maksud Megawati?
Saya yakin tidak, dan akan saya perlihatkan pada poin berikutnya. Tetapi saya ingin memperlihatkan beberapa hal penting dalam tafsiran Tamsil di atas, sebagai berikut:
Pertama, ada dua premis moral (moral premises) implisit yang bisa dideduksi dari tafsiran Tamsil adalah:
- Megawati itu selfish (mementingkan diri sendiri). Orang seperti ini, ketika memberikan sesuatu kepada orang lain pun, yang menjadi pertimbangan adalah apa kegunaan orang tersebut bagi dirinya sendiri. Asas manfaat dalam pengertian negatifnya adalah kata kunci untuk premis moral implisit ini.
- Jokowi itu bukan calon presiden yang baik. Dalam terang tafsiran Tamsil, konstruksi argumennya bisa direformulasi begini: Calon presiden yang tidak baik adalah presiden yang menjadi boneka Partai; Jokowi adalah boneka partai; karena itu Jokowi adalah presiden yang tidak baik. Ini adalah reformulasi dari aspek kemungkinan terkuat dari sisi Tamsil karena metafora boneka dalam konteks ini, pasti bukan metafora yang positif. Peribahasa yang menggambarkan maksud dari metafora ini adalah "kerbau yang hidungnya dicocok".
Maka, unstated conclusion yang ingin disampaikan Tamsil adalah bahwa Megawati tidak baik (lih. poin 1 di atas) dan Jokowi bukan Capres yang baik (lih. poin 2 di atas).
Kedua, yang menjadi pertanyaan penting untuk mengevaluasi reformulasi atau tafsiran Tamsil di atas adalah apakah ada alternetif yang lebih kuat menggambarkan maksud Megawati (dalam bahasa Damer: the strongest version) yang bisa ditelisik? Tentu the strongest version ini harus berdasar. Saya percaya ada dan nanti akan saya perlihatkan, tetapi saya ingin melanjutkan dulu ke poin berikutnya.
Ketiga, jika ada versi terkuat yang paling mungkin menggambarkan maksud Megawati, itu berarti radar cenayang Tamsil kurang bagus, alias error! Saya juga akan kembali ke poin ini nanti.
3. Jokowi harus mengedepankan asas-asas partai
Ini adalah the strongest version yang paling mungkin mewakili maksud Megawati dalam pidato tersebut. Dan untuk menggambarkan versi ini, saya mengutip tulisan sahabat saya, Elde, demikian:
Garis politik PDIP yg menjadi tugas Jokowi sudah jelas ada di platform partaiuntuk mengimplementasikan Trisakti yg menjadi ajaran Bung Karno.Berdaulat di bidang politik, baik dalam negeri maupun luar negeri bahwa tidak bisa orang ngatur Indonesia selain pemerintah dan bangsanya sendiri, lalu berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya. Fakta berbicara sewaktu Jokowi menjabat walikota di Solo hampir 2 periode kepentingan partai dalam kebijaksanaan pembangunan kota tsb tidak ada sama sekali dan dilanjutkan selagi menjadi gubernur DKI saat ini (sumber).
Sebelumnya, saya juga sudah membaca tulisan dari seorang Kompasianer dengan akun bernama Adriano Jacatra yang melaporkan isi pidato Megawati di Manado (1 April 2014) yang secara eksplisit menyatakan bahwa Jokowi bukanlah boneka siapa-siapa (sumber).
Secara logis, tafsiran ini harus menjadi the strongest version yang paling mungkin menggambarkan maksud Megawati ketimbang hasil radar cenayang yang dipasang oleh Tamsil di atas.
Tafsiran Tamsil langsung tereliminasi pada kesempatan pertama karena Megawati sendiri sudah mengafirmasi bahwa Jokowi bukan boneka siapa-siapa. Lalu, tafsiran bahwa kata-kata tersebut mewakili motif Megawati, crystal clear, itu adalah appeal to motive fallacy! Dan karena radar cenayang Tamsil error, maka ia menghasilkan tafsiran yang straw man!
Catatan Penutup
Silakan membuat tafsiran apa pun, tetapi ketika tafsiran itu tidak mewakili maksud original dari sang arguer, maka Anda hanya menghasilkan tafsiran yang cocok dengan yang Anda inginkan. Dan selamat memasuki kubangan logis bernama straw man fallacy.
Padahal, ada alternatif yang lebih sehat yaitu menggunakan prinsip charity dalam memahami atau menafsirkan apa pun yang Anda dengar atau baca atau lihat dari pihak lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H