Sampai di sini, kita mendapati dua usulan tafsiran dari Taslim terhadap isi pidato Megawati di atas. Sekarang yang paling fundamental untuk ditanyakan adalah atas dasar apa kita harus menerima dua tafsiran di atas? Kita tidak dapat menerima sebuah tafsiran jika tidak ada argumen (alasan) yang kuat yang melandasi penerimaan kita terhadapnya. Apakah Tamsil mempresentasikan versi terkuat yang paling mungkin mewakili maksud Megawati?
Saya yakin tidak, dan akan saya perlihatkan pada poin berikutnya. Tetapi saya ingin memperlihatkan beberapa hal penting dalam tafsiran Tamsil di atas, sebagai berikut:
Pertama, ada dua premis moral (moral premises) implisit yang bisa dideduksi dari tafsiran Tamsil adalah:
- Megawati itu selfish (mementingkan diri sendiri). Orang seperti ini, ketika memberikan sesuatu kepada orang lain pun, yang menjadi pertimbangan adalah apa kegunaan orang tersebut bagi dirinya sendiri. Asas manfaat dalam pengertian negatifnya adalah kata kunci untuk premis moral implisit ini.
- Jokowi itu bukan calon presiden yang baik. Dalam terang tafsiran Tamsil, konstruksi argumennya bisa direformulasi begini: Calon presiden yang tidak baik adalah presiden yang menjadi boneka Partai; Jokowi adalah boneka partai; karena itu Jokowi adalah presiden yang tidak baik. Ini adalah reformulasi dari aspek kemungkinan terkuat dari sisi Tamsil karena metafora boneka dalam konteks ini, pasti bukan metafora yang positif. Peribahasa yang menggambarkan maksud dari metafora ini adalah "kerbau yang hidungnya dicocok".
Maka, unstated conclusion yang ingin disampaikan Tamsil adalah bahwa Megawati tidak baik (lih. poin 1 di atas) dan Jokowi bukan Capres yang baik (lih. poin 2 di atas).
Kedua, yang menjadi pertanyaan penting untuk mengevaluasi reformulasi atau tafsiran Tamsil di atas adalah apakah ada alternetif yang lebih kuat menggambarkan maksud Megawati (dalam bahasa Damer: the strongest version) yang bisa ditelisik? Tentu the strongest version ini harus berdasar. Saya percaya ada dan nanti akan saya perlihatkan, tetapi saya ingin melanjutkan dulu ke poin berikutnya.
Ketiga, jika ada versi terkuat yang paling mungkin menggambarkan maksud Megawati, itu berarti radar cenayang Tamsil kurang bagus, alias error! Saya juga akan kembali ke poin ini nanti.
3. Jokowi harus mengedepankan asas-asas partai
Ini adalah the strongest version yang paling mungkin mewakili maksud Megawati dalam pidato tersebut. Dan untuk menggambarkan versi ini, saya mengutip tulisan sahabat saya, Elde, demikian:
Garis politik PDIP yg menjadi tugas Jokowi sudah jelas ada di platform partaiuntuk mengimplementasikan Trisakti yg menjadi ajaran Bung Karno.Berdaulat di bidang politik, baik dalam negeri maupun luar negeri bahwa tidak bisa orang ngatur Indonesia selain pemerintah dan bangsanya sendiri, lalu berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya. Fakta berbicara sewaktu Jokowi menjabat walikota di Solo hampir 2 periode kepentingan partai dalam kebijaksanaan pembangunan kota tsb tidak ada sama sekali dan dilanjutkan selagi menjadi gubernur DKI saat ini (sumber).
Sebelumnya, saya juga sudah membaca tulisan dari seorang Kompasianer dengan akun bernama Adriano Jacatra yang melaporkan isi pidato Megawati di Manado (1 April 2014) yang secara eksplisit menyatakan bahwa Jokowi bukanlah boneka siapa-siapa (sumber).
Secara logis, tafsiran ini harus menjadi the strongest version yang paling mungkin menggambarkan maksud Megawati ketimbang hasil radar cenayang yang dipasang oleh Tamsil di atas.