Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Menulis Surat Terbuka? Pahami Dulu Naturnya (Bag. 2)

29 Juli 2014   12:12 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:57 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="260" caption="http://img1.imagesbn.com/"][/caption]

Dalam tulisan pertama saya tentang surat terbuka (di sini), saya sudah menyinggung bahwa kebanyakan surat terbuka yang diposting di Kompasiana (termasuk juga di media online lainnya) tidak memenuhi kriteria penulisan sebuah surat terbuka. Salah satu penyebabnya adalah ketidakpahaman terhadap natur dari sebuah surat terbuka. Namun karena tulisan pertama itu hanya sebuah sketsa, di sini saya akan sedikit lebih detail membahas tentang natur sebuah surat terbuka.

Untuk itu, saya akan mengacu pada tulisan berjudul: New Light on the New Testament from the Records of the Graeco-Roman Period dari seorang pakar asal Jerman bernama Adolf Deissmann. Deissmann adalah seorang profesor New Testament Exegesis di University of Heidelberg. Dan bukunya yang saya acu di sini sudah cukup lama dipublikasikan, yakni pada awal abad kedua puluh (1912).

Mengapa buku Deissmann? Anda mungkin bukan orang Kristen dan lebih khusus lagi, penulisan surat terbuka di Kompasiana sulit dilihat hubungan langsungnya dengan Kekristenan. Saya tidak meminta maaf untuk hal ini. Kekristenan sendiri memberikan kontribusi yang sangat besar bagi studi sastra. Secara literer (sastrawi), Alkitab merupakan sebuah kitab yang kaya akan jenis sastra (genre): Taurat, narasi, puisi, hikmat, nubuat, Injil, sejarah, surat (epistles), dan apokaliptik. Ini baru soal genre utamanya. Pula, Anda bisa menemukan puluhan sub-genre yang dapat dijadikan objek studi sastra klasik. Bahkan tidak sedikit di antaranya terus bertahan hingga saat ini. Salah satunya adalah surat! Dan di dalam buku Deissmann terdapat ulasan hasil studi yang sangat kredibel mengenai natur penulisan genre surat.

Mengapa sebuah buku "klasik"? Saya bisa saja merujuk kepada ulasan-ulasan sastra kontemporer. Tetapi sejauh yang saya ketahui, ulasan-ulasan kontemporer mengenai surat sebagai sebuah literary work (karya literer), hampir selalu merujuk kepada karya Deissmann yang sudah saya sebut di atas. Bisa dikatakan bahwa karya Deissmann merupakan acuan, entah dalam kategori setuju atau tidak setuju, untuk ulasan-ulasan kontemporer mengenai penulisan surat (letter writing) sebagai karya sastra.

Saya akan mengkontemporerisasi tulisan Deissmann dalam postingan ini bagi Anda sekalian.

*******

Deissmann mendasarkan ulasannya pada penemuan begitu banyak surat kuno mulai dari abad ketiga sebelum tahun Masehi hingga abad ketujuh Masehi. Surat-surat kuno ini pernah dipublikasikan oleh Profesor Stanislaus Witkowski, Epistulae privatae graecae Quae in Papyris Aetatis Lagidarum Servantur (Leipzig, 1906).

Berdasarkan penemuan-penemuan tersebut, Deissmann mengategorikan surat ke dalam dua kategori besar sebagaimana yang akan saya ulas secara ringkas berikut ini.

Pertama, Deissmann menyebutnya real letter atau private letter. Sebutan ini digunakan untuk surat-surat yang ditulis untuk kepentingan: bisnis, urusan pemerintahan, persahabatan, keluarga (mis. surat ayah kepada anak; suami kepada istri; dsb.). Ringkasnya, surat-surat yang bisa jadi memiliki unsur sastra, namun tidak dimaksudkan untuk dibaca secara publik atau untuk generasi-generasi berikutnya.

Dan kedua, surat-surat yang disebut Deissmann sebagai epistles. Surat-surat ini memiliki bentuk struktural yang sama dengan real letters, namun dikomposisi sebagai sebuah karya sastra-filosofis untuk berbagai kepentingan. Mis. untuk kepentingan politik, etika, agama, dsb. Dan yang lebih penting lagi adalah surat-surat ini dimaksudkan untuk dibaca secara publik bahkan untuk generasi-generasi berikutnya. Semakin banyak orang yang membacanya, semakin baik.

Untuk lebih terangnya lagi, kita perlu menilik definisi Deissmann mengenai literature. Literatur, bagi Deissmann, adalah sebuah karya tulis untuk publik yang dipublikasikan dalam bentuk artistik tertentu. "Bentuk artistik" yang dimaksudkan di sini adalah apa yang telah saya bahas dalam tulisan pertama saya kemarin, yaitu perpaduan antara berbagai sub-bentuk sastra (mis. puisi, diatribe, paraenesis, khiasmus, dsb.) dengan seni persuasi/argumentasi (retorika).

Jadi, epistles tergolong ke dalam karya literature atau karya sastra karena memiliki bentuk artistik tertentu yang tidak ada di dalam real letters atau private letters selain sasaran pembacanya bersifat publik.

*******

Sampai di sini saya dapat menyarikan beberapa poin penting berkait natur sebuah surat terbuka atau yang dalam sebutan Deissmann, epistle.

1. Dimaksudkan untuk publik.

Saya kira poin ini tidak perlu dijelaskan lebih lanjut lagi. Hanya saja perlu disebutkan ulang karena ini adalah karakteristik yang membedakan epistle dari sebuah private letter.

2. Terkait dengan konteks spesifik, namun tidak terikat oleh konteks tersebut.

Konteks di sini bisa jadi sebuah isu politik, agama, moral, dsb., yang terjadi pada suatu masa tertentu. Meski demikian, gagasan yang diusung oleh si penulis surat terbuka itu adalah gagasan yang bukan time-bounded (terikat oleh waktu). Itulah sebabnya bahkan generasi-generasi sesudahnya bisa mendapatkan manfaat dari membaca surat-surat semacam ini, meskipun mungkin isu spesifik yang dibahasnya tidak lagi aktual bagi mereka.

3. Dikomposisi dalam bentuk artistik tertentu.

Saya sudah memberikan gambaran ringkas di atas bahwa bentuk artistik yang dimaksudkan di sini adalah berbagai bentuk sastra dan seni persuasi/argumentasi (retorika). Poin ini akan saya bahas secara khusus dalam sebuah tulisan tersendiri setelah tulisan ini.

4. Ditulis dengan menggunakan bentuk surat.

Sama seperti semua bentuk surat lainnya, surat terbuka pun harus ditulis menggunakan bentuk sebuah surat. Struktur sederhananya adalah: pendahuluan (salam, ucapan syukur, dsb.), tubuh (isu dan argumen untuk isu yang dibahas; bisa juga diakhiri dengan paraenesis [nasihat atau dorongan praktis]), dan penutup (salam penutup, doa. dsb.).

5. Penerimanya adalah public figure

Penerima surat terbuka adalah tokoh penting dalam masyarakat, entah dari segi pengaruh, jabatan, kemapanan ekonomis, kiprah/jabatan akademis, dsb. Tokoh-tokoh ini menerima surat terbuka, biasanya berisi protes atau kritikan berkait hal-hal tertentu, di mana si pengirimnya menulis demi kepentingan sekelompok orang atau bahkan jumlah orang yang sangat banyak. Tokoh-tokoh penting ini dikirimi surat terbuka karena mereka memiliki "kuasa" untuk penentuan keputusan-keputusan dan/atau kebijakan-kebijakan tertentu yang signifikan bagi banyak orang, termasuk juga karena perilaku mereka ikut mempengaruhi perilaku publik.

6. Isu yang disorot spesifik namun signifikan.

Sama seperti sebuah artikel, isu yang disorot dalam sebuah surat terbuka adalah isu yang spesifik. Tidak banyak isu sekaligus. Meski demikian, si penulis wajib memberikan argumen bahwa isu yang diangkatnya adalah isu yang signifikan, bukan hanya bagi si penulis itu sendiri, melainkan bagi orang banyak.

Akhirnya saya ingin mengingatkan sekali lagi, surat terbuka bukan sarana penumpahan uneg-uneg dan omelan-omelan atau curcol, tetapi sarana argumentasi sastrawi!

Semoga bermanfaat!

Istanbul, 01.08 am.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun