Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Natal, Skandal Sejarah Kelahiran Yesus

21 Desember 2014   14:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:49 1550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"καὶ μακάριός ἐστιν ὃς ἐὰν μὴ σκανδαλισθῇ ἐν ἐμοί" - Teks Yunani Matius 11:6
"kai makarios estin hos me skandalisthe en emoi" - Transliterasi.
"Dia yang berbahagia adalah yang tidak menolak aku" - Terjemahan saya.


Sekilas Mengenai Konteksnya

Di dalam konteksnya (Mat. 11:1-13), teks di atas merupakan respons Yesus terhadap pertanyaan Yohanes Pembaptis yang sedang berada di penjara. Yohanes Pembaptis mengutus murid-muridnya untuk menanyai Yesus apakah Yesus adalah Mesias yang dijanjikan (dalam PL) itu atau mereka harus menantikan seorang yang lain? Ini menjadi menarik karena Yohanes Pembaptis sendirilah yang membaptis Yesus sekaligus mendeklarasikan identitas Mesianik Yesus di awal pelayanannya.

Untuk memahami pertanyaan Yohanes Pembaptis, perlu diingatkan bahwa isi (content) pengharapan mesianik Yudaisme adalah bahwa kedatangan Mesias akan mengakhiri segala penderitaan fisik sekaligus menegakkan kembali kejayaan (rohani sekaligus nasional) orang-orang Yahudi. Mereka tengah berada di pembuangan sejak penyerbuan Asyur dan Babel yang mengakibatkan kehancuran Bait Suci (yang dibangun Salomo kemudian dibangun kembali oleh Ezra) maupun kehancuran Yerusalem (yang dibangun kembali di bawah pimpinan Nehemia). Mereka menantikan Mesias untuk pemulihan (restoration) akan situasi ini.

Mengalami penjara, tampaknya bukan pertanda yang baik bahwa restorasi dalam pengertian di atas akan terjadi. Itulah sebabnya, Yohanes meminta konfirmasi Yesus dengan mengutus para muridnya untuk bertanya seperti di atas. Setelah mengemukakan sejumlah karakteristik perbuatan-perbuatan Mesianik (mesianic deeds), Yesus kemudian menyatakan, "Dia yang berbahagia adalah yang tidak menolak aku". Jawaban ini sebenarnya mengintonasikan kembali isi Ucapan Bahagia (Beatitudes) dalam Khotbah di Bukit (Sermont on the Mount).

Lensa Diakronis

Penolakan terhadap Yesus, khususnya berkait kelahiran-Nya, sudah terjadi sejak ia mulai dikandung hingga saat ini. Saya akan memperlihatkan ikhtisar diakronisnya di sini.

Kita mendapati nuansa tekanan akibat Maria mengandung Yesus dalam narasi Lukas mengenai kepergian Yusuf dan Maria dari Nazareth ke Betlehem. Secara historis, mereka pergi dalam rangka mengikuti sensus yang diadakan oleh kaisar Agustus. Para pakar sejarah menyatakan bahwa sensus itu tidak perlu dihadiri oleh suami-istri. Kenneth E. Bailey: "In the Middle East, men usually represent their family in any official or legal matters." Maurice Startre: "...for reasons unknown to us, there would have been no reason for him [Joseph] to take his wife with him, because the head of the family always had to register all the members of his household." Philip Yancey: "Seorang kepala keluarga sebenarnya sudah memenuhi syarat untuk sensus romawi." Jadi, Maria tidak harus ikut dalam perjalanan itu. Pertanyaannya, mengapa Maria harus ikut?

Ada banyak usulan jawaban untuk pertanyaan di atas. Tetapi menurut saya yang paling masuk akal untuk diterima adalah bahwa situasi kehamilan Maria sendirilah yang menjadi alasan Yusuf harus membawa serta Maria bersamanya. Dalam tradisi Yahudi, seorang wanita yang hamil di luar pernikahan yang sah harus menuai lemparan batu sampai mati. Ia dianggap sebagai aib yang mendatangkan kutuk atas seluruh keluarga besarnya. Dalam latar kultur seperti ini, bisa dibayangkan seberapa besar tekanan yang dihadapi Maria dan mengapa Yusuf harus membawa Maria bersamanya mengikuti sensus itu.

Tekanan itu bukan sebuah imajinasi tanpa dasar. Karena kalau kita menelusuri respons orang-orang sekampung Yesus terhadap-Nya setelah Ia memulai pelayanan-Nya, kita akan mendapati bahwa mereka memang menolak Dia. Markus 6 mengisahkan bahwa Yesus tidak diterima oleh orang-orang sekampung-Nya karena asal-usul-Nya. Yang menarik dari teks ini adalah Yesus disebut oleh orang-orang sekampung-Nya sebagai "anak Maria" (ὁ υἱὸς τῆς Μαρίας;Mrk. 6:3). Sebutan ini tidak biasa karena dalam konteks Yahudi, seorang anak itu sebut sebagai anak ayahnya, bukan anak ibunya. Itulah sebabnya para pakar, semisal Morton Smith beranggapan bahwa sebutan itu menggemakan desas-desus mengenai asal-usul Yesus yang "tidak sah" (illegitimate). Ia menulis, "...Jesus' birth was in fact irregular...". Smith bahkan berimajinasi lebih liar lagi saat membaca narasi Yusuf membawa Yesus mengungsi ke Mesir ketika hendak dibunuh oleh Herodes (Mat. 2:13dst). Menurut Smith, di Mesir Yesus belajar ilmu sihir kemudian kembali ke Palestina sebagai seorang penyihir. Itulah sebabnya ia memberi judul bukunya: Jesus the Magician!

Tudingan mengenai asal-usul Yesus yang tidak sah itu, sebenarnya mulai sangat kentara sejak abad kedua. Dalam tulisan seorang Bapa Gereja abad ketiga, Origenes (Contra Celsum), disebutkan mengenai asersi seorang bernama Celsus yang menulis buku berjudul: The True Word (Yun. Logos Alethes) kira-kira pada tahun 178 M. Menurut Celsus, Yesus dibawa orangtua-Nya ke Mesir karena penolakan orang-orang sekampung-Nya. Celsus bahkan merupakan orang yang pertama kali mempopularkan dugaan bahwa Yesus lahir akibat perzinahan Maria dengan seorang tentara Romawi bernama Panthera (atau Pandira atau Pantiri).

Pada abad ketiga, seorang filsuf Neo-Platonisme bernama Phorpyry membumbui asersi Celsus kemudian menyatakan bahwa Maria diperkosa oleh seorang serdadu Romawi, Panthera. Tudingan semacam ini juga terdapat dalam Talmud (salah satu literatur Yahudi Rabbinik abad IV M) bahwa Yesus lahir karena skandal Maria dan Panthera (b. shabb. 104b;bnd. y. Sabb. 14d; y. ‘Abod. Zar. 40d, 41a; b. ‘Abod. Zar. 27b; Qoh. Rab. 1.8).

Asersi bahwa Yesus adalah "anak haram" sebagaimana yang sudah diperlihatkan di atas sempat "hilang" dalam perederan sejarah. Lalu, pada abad ini, muncul sejumlah publikasi akademis yang mencoba menghidupkan kembali asersi tersebut. Beberapa di antaranya


  • James Tabor (The Jesus Dynasty: The Hidden History of Jesus, His Royal Family, and Birth of Christianity) - sebagai catatan: Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
  • Jane Schaberg (The Illegitimacy of Jesus: A Feminist Theological Interpretation of Infancy Narratives)
  • John Dominic Crossan, "Virgin Mother of Bastard Child?," in  HTS 59 (2003): 663-691


Tabor dan Crossan menghidupkan kembali asersi Celsus, sementara Schaberg membaca narasi masa kanak-kanak Yesus dari lensa asersi Phorpyry.

Omong Kosong Sejarah

Karena buku Tabor sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, saya perlu memberikan beberapa respons evaluatif di sini mengenai klaim Tabor (dan para penulis lainnya) bahwa status "anak haram" bagi Yesus adalah sebuah status sejarah (fakta). Klaim seperti ini lebih tepat merupakan omong kosong sejarah ketimbang sebuah sejarah!

Pertama, kaitan antara kelahiran Yesus dengan Panthera baru muncul pada abad kedua Masehi. Tidak ada bukti sejarah pada abad pertama yang mendukung asersi bahwa Yesus lahir akibat skandalnya dengan Panthera. Maka pertanyaannya, mengapa nama "Panthera" muncul di sini? Apa yang melatarbelakanginya? Pertanyaan-pertanyaan ini mengantar kita kepada poin berikut.

Kedua, kita harus mengetahui bahwa menurut sumber-sumber sejarah abad pertama (kitab-kitab Injil kanonik: Matius dan Lukas), Yesus lahir dari seorang perawan. Dan kata Yunani yang berarti "perawan" adalah παρθένος (parthenos). Itulah sebabnya, banyak pakar sejarah yang menyatakan bahwa munculnya nama/kata "Panthera" sebagai plesetan atau olok-olokan dalam bentuk permainan dari orang-orang Yahudi terhadap Yesus dengan mengacu kepada klaim bahwa Yesus lahir dari seorang parthenos. Saya mencantumkan tulisan dari sejumlah pakar yang berargumentasi seperti ini, antara lain:


  • Joseph Klausner, Jesus of Nazareth (New York: Menorah, 1979), 23-24;
  • F.F. Bruce, Jesus and Christian Origin Outside the New Testament (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1974), 57-58;
  • Craig A. Evans, Merekayasa Yesus, terj. Johny The (Yogyakarta: Andi, 2007), 271;
  • Tobias Nicklas, “The Bible and Anti-Semitism,” in The Oxford Handbook of the Reception History of the Bible, eds. Michael Lieb, Emma Mason, and Jonathan Roberts (Oxford: Oxford University Press, 2011), 272.
  • Ben Witherington III, Apa yang telah Merea Lakukan terhadap Yesus? Bantahan terhadap Teori-teori Aneh dan Sejarah ‘Ngawur’ tentang Yesus, terj. James Pantou (Jakarta: Gramedia, 2007), 400-401.


Harus diakui bahwa tidak ada bukti tekstual abad pertama yang secara eksplisit mendukung argumen beberapa pakar pada argumen kedua di atas. Tetapi, logika sejarah untuk argumen tersebut tetap solid untuk diasumsikan. Seperti yang sudah diringkas pada argumen pertama di atas, bukti-bukti sejarah yang mendukung gagasan bahwa Yesus lahir dari seorang parthenos (perawan), mendahului desas-desus mengenai skandal Maria dan Panthera. Jadi, jika kita bersikap jujur terhadap bukti-bukti sejarah, maka kita harus lebih bisa menerima klaim bahwa Yesus lahir dari seorang perawan ketimbang percaya bahwa Yesus lahir akibat skandal Maria dan Panthera!

Dan ketiga, saya ingin mendebat rekonstruksi Tabor secara khusus di sini. Menurut Tabor skandal Yesus dan Panthera dapat dibaca guratannya dalam Matius 7:14 yang menyatakan Yesus pergi ke Tirus dan Sidon lalu berdiam di situ. Tabor menduga bahwa Yesus pergi ke Sidon untuk menemui ayah-Nya, Panthera, yang tinggal di Sidon (di pantai sebelah utara Mediterania). Ia mendukung dugaan ini bahwa pada tahun 1895, di Bingerbruck, Jerman, ditemukan prasasti pada sebuah kuburan yang tertera tulisan berikut:

Tiberius Julius Abdes Pantera dari Sidon, umur 62 tahun, prajurit yang sudah bertugas selama 40 tahun, dari kelompok pertama pemanah, terbaring di sini.


Ia berargumentasi bahwa kata "Abdes" adalah transliterasi kata "Ebed" (bahasa Aramaik) yang berarti "pelayan" atau "budak". Lalu ia menyatakan, Panthera mungkin awalnya adalah seorang budak yang dibebaskan oleh kaisar Tiberius dari status tersebut lalu menjadi seorang tentara Romawi.

Orang yang awam dalam studi sejarah, akan segera berpikir bahwa rekonstruksi Tabor cukup "masuk akal" untuk mendukung gagasan mengenai skandal Maria dan Panthera. Tetapi, para pakar sejarah menertawakan rekonstruksi ini. Witherington, misalnya, mengemukakan dua ketidakmungkinan historis dari rekonstruksi Tabor:


  • Maria hidup dalam budaya honor and shame yang sangat kental. Ia hidup sebagai seorang wanita muda Yahudi yang saleh (hal ini diakui juga oleh Tabor). Di samping itu, para gadis Yahudi mendapat pengawasan ketat dari orangtuanya, mengingat hukuman mati yang akan menimpa jika terjadi "kecelakaan" pada anak gadis mereka.
  • Jarak antara tempat tinggal Maria dan Sidon tidak kurang dari 60 KM. Dalam konteks jaman itu di mana pilihan satu-satunya bagi penduduk non pejabat adalah berjalan kaki, bagaimana kita bisa membayangkan bahwa Maria, seorang wanita muda Yahudi, bisa sampai ke Sidon lalu terjadi skandal itu dan tinggal di situ?


Itulah sebabnya, rekonstruksi Tabor tidak pernah dianggap serius oleh para pakar sejarah. Tabor hanya menampilkan sebuah rekonstruksi sejarah abal-abal semata!

Natal: Peringatan dan Tantangan

Jadi, dalam sejarah, sejak kelahiran Yesus hingga kini, peristiwa itu di kelilingi oleh "skandal" (penolakan). Skandal itu bahkan berbuah fitnah bahwa Yesus lahir sebagai hasil dari sebuah hugel (Istilahnya orang Manado-Gorontalo untuk: hubungan gelap). Fitnah semacam ini lebih didorong oleh penolakan yang berasal dari hati ketimbang fakta. Mereka tidak ingin menerima Yesus. Dan itu tidak mengapa. Tidak ada paksaan untuk orang harus menerima Yesus. Siapa pun, bebas menerima atau menolak Yesus. Tetapi, kalau Anda meminta penjelasan mengapa Yesus layak dipercaya, maka dengan sukacita kami memberikan alasan-alasannya.

Kembali kepada Matius 11:6 yang saya kutip di awal tulisan ini. Michael J. Wilkins mengomentari kata-kata Yesus dalam ayat tersebut, demikian:

This beatitude functions as both a warning and a challenge. It is a warning to those who fail to understand correctly Jesus’ identity and ministry and so fall away from faith.... It is a challenge to those with eyes of faith to stand firm in what God has revealed about Jesus in John’s own message and in Jesus’ ministry ["Ucapan bahagia ini berfungsi sekaligus sebagai peringatan dan tantangan. Ini adalah peringatan bagi mereka yang gagal memahami secara tepat identitas dan pelayanan Yesus lalu melepaskan dirinya dari iman.... Ini adalah sebuah tantangan bagi mereka yang melihat dengan percaya untuk tetap berdiri teguh di dalam apa yang telah disingkapkan Allah mengenai Yesus dalam pemberitaan Yohanes maupun dalam pelayanan Yesus sendiri"].


Precisely! Tepat sekali! Natal adalah momen peringatan dan tantangan. Peringatan bahwa penolakan terhadap Yesus bukanlah sesuatu yang baru. Penolakan-penolakan itu bukannya tidak bisa dijawab. Bisa dijawab, tetapi mereka memang ingin menolak Dia. Maka tantangannya adalah bukan hanya menerima Dia, melainkan juga tetap percaya kepada Dia di tengah berbagai tantangan daya tarik penolakan yang ada.

Akh, tak ada yang baru di bawah matahari, bukan?

Selamat menyongsong Natal bagi rekan-rekan Kristiani di mana saja Anda berada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun