[caption id="attachment_391516" align="aligncenter" width="624" caption="Presiden Joko Widodo saat memimpin Rapat Kabinet di Istana Presiden, Senin (17/11/2014). (Sabrina Asril/Kompas.com)"][/caption]
What makes a leader? It's the choices he made, the decisions he took; it's the courage and leadership he'd shown during tough and difficult times. The sacrifices he made, all the silent tears he swallowed for his people!
Dua artikel terakhir saya mengenai kecerdikan politik Jokowi, mengusung ide dasar bahwa penerimaan yang disusul dengan penangguhan pelantikan Budi Gunawan (BG) mengandung pesan moral implisit bagi sejumlah pihak. Awalnya, banyak pihak mencela Jokowi karena menetapkan BG sebagai calon tunggal Kapolri, namun kemudian terkatup karena langkah cerdik Jokowi yang menangguhkan pelantikan tersebut.
Bagi saya, jebakan betmen serta kecerdikan Jokowi di sini merupakan cerminan dari sebuah teori yang pernah digagas oleh James M. Scott, seorang sosiolog dan antropolog di Yale University. Pada tahun 1990, Scott mempublikasikan sebuah buku berjudul:Â Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts.
Buku di atas berisi hasil riset Scott terhadap sikap para petani miskin dan kaum agrarian di wilayah yang berbeda terhadap kekuasaan politis. Ia menemukan adanya ketaatan yang artifisial (pura-pura) demi agenda terselubung dari pihak yang didominasi oleh para penguasa kolonial yang tak jarang berkiprah lalim. Riset ini menstimulasi Scott menelorkan dua kategori sikap politis yang ia sebut sebagai public transcript dan hidden transcript.
Public transcript adalah sikap publik yang kelihatannya saja taat terhadap para penguasa, padahal sebenarnya mereka sedang memendam rasa memberontak terhadap para penguasa tersebut (hidden transcript). Menurut Scott, sikap artifisial (public transcript) dan perasaan memberontak itu (hidden transcript) berjalan seiring. Bahkan, sikap politis yang sesungguhnya adalah hidden transcript itu sendiri!
Entah Jokowi pernah membaca riset Scott atau tidak, saya melihat paralel menarik antara riset tersebut dengan kecerdikan politik Jokowi di sini.
Para lawan politik Jokowi tampaknya mempersiapkan hidden transcript yakni jika Jokowi melantiknya, Jokowi berhadapan dengan impeachment. Jika Jokowi tak melantiknya, Jokowi dianggap tidak menghargai parlemen. Hidden transcript itu kemudian dibalut dengan public transcript yakni dengan suara bulat mereka menyetujui pencalonan BG bahkan ngotot tetap menjalankan fit and proper test.
Di sisi lain, para "investor politik" semisal PDIP yang mengusung Jokowi menjadi capres, pun tidak ketinggalan memainkan dua jurus politik di atas. Hak prerogatif Jokowi sebagai presiden tampaknya dihargai (public transcript), namun agenda terselubungnya adalah "balas jasa". Di sini, hak prerogatif itu dikendarai demi meloloskan agenda terselubung tersebut.
Dalam himpitan public transcript dan hidden transcript baik dari pihak lawan maupun investor politik tersebut, Jokowi pun memainkan kedua jurus ini dengan brilian. Ia dengan santun tak menampik sodoran para investor politik maupun hak parlamen yang dengan suara bulat meloloskan BG (public transcript), namun ia menggunakan kartu as politiknya dengan mengacu kepada KPK yang telah menetapkan BG sebagai tersangka, guna tidak memanut hidden transcript dari para investor politiknya maupun para lawan politiknya.
Semua pihak kini melihat bahwa baik para lawan maupun investor politiknya tak mendapat sedikit pun peluang untuk mencapai agenda terselubung mereka. Yang terang benderang sekarang adalah hidden transcript Jokowi yang memang merupakan representasi atau keinginan yang sesungguhnya dari seluruh rakyat Indonesia!