Roberto Bolano dalam bukunya yang berjudul: The Insufferable Gaucho, menyatakan "If you're going to say what you want to say, you're going to hear what you don't want to hear." Pesannya sederhana: jangan ngasal mengemukakan opini, jika tak ingin dibantah secara mudah. Setuju!
Namun, setiap penulis harus berani dan berjiwa besar untuk "mendengar apa yang tidak ingin didengar." Dan saya menerima tantangan ini dengan mengemukakan sebuah dugaan politis sebagai aplikasi dari tulisan saya barusan.
Gagasan hipotetis saya adalah bahwa pengangkatan Badrodin Haiti sebagai PLT, sebenarnya mengandung muatan hidden transcript dari Jokowi, sama halnya seperti Budi Gunawan (BG).
Adapun sejumlah syarat cukup (sufficient conditions) yang di atasnya saya akan mendasarkan kesimpulan saya adalah:
- Kasus kepemilikan rekening gendut yang menimpa BG, bukanlah kasus yang baru-baru ini muncul. Memang sudah ada klarifikasi dari KPK bahwa status tersangka yang disematkan bagi BG tidak berkait dengan momentum pencalonannya sebagai Kapolri. Saya meragukan klarifikasi ini. Tentu saja ada kaitan dengan momentum tersebut. Seorang calon Kapolri haruslah seseorang yang "bersih" dari kasus semacam itu.
- Di sisi lain, Jokowi, tampaknya mengedepankan kesantunan kultur politis dengan mengakomodasi BG sebagai calon Kapolri. Ini pun disetujui oleh DPR.
- Jokowi menghadapi kemelut yang mengancam kedudukan serta kredibilitasnya sebagai Presiden RI. Ia berhadapan dengan ancaman impeachment sekaligus ancaman penarikan dukungan dari para relawan serta seluruh rakyat Indonesia, jika ia melantik BG.
- Kemelut itu ditangani Jokowi dengan mengeluarkan dua Keppres, yaitu pemberhentian Sutarman dan pengangkatan Badrodin Haiti sebagai PLT. Sementara itu, BG hanya sekadar mendulang status ditunda pengangkatannya hingga ada kejelasan status dari KPK soal kasus di atas.
Dalam kondisi di atas, ada yang bersikeras bahwa BG seharusnya dilantik hingga terbukti bersalah barulah dicopot. Tetapi solusi ini justru akan membawa Jokowi ke dalam bahaya impeachment dan penarikan dukungan dari para relawan serta kehilangan kredibilitas dari seluruh rakyat Indonesia. Ini harga yang terlalu mahal hanya untuk seorang tersangka bernama BG.
Saya sendiri percaya bahwa Jokowi memang mengakomodasi BG karena ia mengetahui kasus BG yang sudah sekian lama diusut KPK namun tak kunjung jelas penuntasannya. Hal ini tentu didasarkan atas asumsi bahwa Jokowi memiliki komitmen yang kuat dalam hal pemberantasan korupsi dan sejenisnya yang terbukti melalui penundaan pengangkatan BG sebagai Kapolri.
Berangkat dari asumsi di atas, saya melihat adanya hidden transcript yang dimainkan Jokowi yaitu mengakomodasi nama BG sebagai cakapolri, sekaligus menempatkannya pada posisi mau tidak mau harus diberi perhatian oleh KPK soal kasus kepemilikan rekening gendut yang pernah termuat di Majalah Tempo beberapa tahun lalu termasuk sudah mendapat perhatian KPK namun sempat "membeku".
Sampai di sini, saya ingin meringkas dua poin penting sebagai sufficient conditions untuk gagasan berikutnya:
- Jokowi memiliki komitmen memberantas korupsi dan sejenisnya;
- Pencalonan Kapolri menjadi momentum untuk "menyeret" BG ke posisi harus diprioritaskan KPK.
Lalu apa hubungannya dengan Badrodi Haiti?
Menurut hasil investigasi yang termuat di Majalah Tempo, bukan hanya BG, Badrodin Haiti pun termasuk salah seorang petinggi Polri yang namanya terdapat di daftar kepemilikan rekening gendut. Kisaran kekayaannya mencapai 8 milyal lebih. Sebuah angka yang "tidak masuk akal" untuk orang dengan posisi seperti Badrodin Haiti.
Ketika Badrodin Haiti diangkat sebagai PLT, muncul keraguan terhadap komitmen Jokowi untuk memberantas jaringan kepemilikan rekening gendut di kalangan para petinggi Polri. Saya justru melihat sebaliknya, dan mari kita perhatikan beberapa indikator di bawah ini:
- Pengangkatan Badrodin Haiti sebagai PLT adalah konsekuensi logis dari tersandungnya BG;
- Pengangkatan itu tidak melanggar hukum (kontra Yusril) karena DPR telah menyetujui pemberhentian Sutarman dan dengan demikian perlu diangkatnya Kapolri yang baru.
- Badrodin Haiti adalah Wakapolri yang memang tidak ada legitimasi legal di mana jika seorang Kapolri (dalam hal ini Sutarman) lengser, maka wakilnya yang naik ke jabatan Kapolri. Meski demikian, pengangkatan Badrodin adalah pilihan yang masuk akal, sekali lagi mengingat jabatannya sebagai Wakapolri, dan untuk memberinya legitimasi legal, maka Keppres tersebut dikeluarkan.
Sampai di sini, saya sudah bisa memperlihatkan kepada Anda mengapa saya melihat sebaliknya dari gonjang-ganjing di atas. Sama seperti BG yang "dibawa" ke posisi di mana ia harus mendapat perhatian KPK setelah kasusnya sekian lama membeku, kelihatannya Jokowi kali ini membawa Badrodin Haiti ke posisi serupa. Seakan-akan pesannya kepada KPK adalah jangan hanya BG, sekarang saatnya beri perhatian kepada Badrodin Haiti.
Pesan di atas, tidak dapat menjadi bumerang bagi Jokowi, karena memang belum ada status tersangka bagi Badrodin Haiti. Jokowi tidak dapat dituduh "sudah tahu koq kenapa angkat". Tetapi pada saat yang sama, Jokowi justru berpesan "kita sudah sama-sama tahu, kenapa diam saja, KPK?"
Jika dugaan saya di atas benar, maka tampaknya kasus kepemilikan rekening gendut di kalangan para petinggi Polri yang sempat di-peti-es-kan pada era SBY, mulai dilirik oleh Jokowi. Ia menjadikan momen pencalonan Kapolri ini sebagai "momen sentil" bagi para petinggi Polri yang terkait kepemilikan rekening gendut, sekaligus bagi KPK.
Bagi para petinggi Polri tersebut, Jokowi memberi "pesan", silakan inginkan kursi Kapolri karena di situ nanti Anda akan mendapat perhatian KPK. Di sisi lain, KPK mungkin saja mematikan Tempo (merujuk tulisan rekan Kompasianer Sang Pujangga), namun Jokowi menyentil mereka untuk menghidupkannya kembali.
Beranikah KPK?
(Catatan: Silakan diberi koreksi apakah dugaan di atas memiliki sufficient ground untuk dianggap sebagai salah satu alternatif yang mungkin dari kisruh pencalonan Kapolri? Kritik Anda dihargai, karena dengan demikian Anda mengkonfirmasi pentingnya memperhatikan sufficient conditions dalam mengemukakan opini politik)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H