[caption id="attachment_392251" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Kompas)"][/caption]
Hangatnya isu-isu politik dari waktu ke waktu memang tidak dapat tidak dilihat di Kompasiana. Mayoritas isu yang masuk ke kolom HL maupun TA berkenaan dengan area ini. Dan ini bisa dipahami. Tidak ada masalah, menurut saya.
Kontribusi yang sudah agak lama saya pikirkan untuk area ini adalah soal how to-nya. "Bagaimana"-nya. Saya mengetahui bahwa soal style itu unik untuk setiap penulis. De gustibus non est disputandum! Tetapi, ada dua hal spesifik yang, dalam tulisan singkat ini, saya kira sangat urgent untuk terlihat dalam tulisan-tulisan Anda mengenai isu-isu politik.
Lebih spesifik, yang saya maksudkan, adalah tulisan-tulisan yang berhubungan dengan "membaca" strategi, atau motif, atau langkah-langkah politis yang masih bersifat wacana, dugaan, dan sejenisnya. Meski begitu, saya percaya kedua hal ini penting juga untuk area-area lainnya, khususnya tulisan-tulisan yang menjelaskan tentang sebuah fenomena demi mempertahankan perspektif tertentu atau argumentasi tertentu.
Kedua hal ini berkenaan dengan kausal-kausal (penyebab-penyebab) atau Anda bisa menyebutnya indikator-indikator yang menjadi acuan Anda menarik sebuah kesimpulan. Keduanya selalu merupakan acuan menuju sebuah kesimpulan. Sebuah kesimpulan bisa dinilai akomodatif, representatif, atau "masuk akal", minimal jika mengandung dua hal ini.
Pertama, syarat perlu (necessary conditions). Syarat perlu adalah sejumlah kondisi atau peristiwa atau fakta atau indikator atau alasan yang harus ada atau terasumsikan ada di balik sebuah peristiwa.
Dan kedua, syarat cukup (sufficient conditions). Syarat cukup adalah sejumlah kondisi atau peristiwa atau fakta atau indikator atau alasan yang mem-produce sebuah peristiwa atau sebuah kesimpulan tertentu.
Sebuah syarat perlu harus ada di balik sebuah peristiwa, tetapi syarat perlu itu sendiri tidak dapat dijadikan acuan yang cukup untuk terjadinya peristiwa tersebut. Hanya syarat cukup yang memiliki signifikansi ini.
Saya melihat contoh menariknya dari analisis Pak Prayitno mengenai killing ground yang diciptakan bagi Jokowi di sekitar pencalonan Kapolri. Namun begitu, saya memilih memberikan sebuah contoh dari tulisan saya baru-baru ini mengenai public transcript dan hidden transcript khususnya untuk menjelaskan mengapa Jokowi memutuskan penundaan pelantikan Budi Gunawan dan mengangkat Plt (Badrodin Haiti). Jika Anda membaca tulisan tersebut, saya berangkat dari sejumlah syarat perlu:
- Jokowi sebagai Presiden RI yang memiliki hak prerogatif mengangkat Kapolri (sesuai UU).
- Persetujuan DPR sebagai salah satu syarat pengambilan keputusan definitif mengenai cakapolri.
- Fenomena "titip-menitip" dalam dunia perpolitikan.
- Budi Gunawan sebagai cakapolri yang telah disetujui DPR.
- Dll.
Perhatikan bahwa sejumlah syarat perlu di atas tidak menjelaskan apa-apa mengenai keputusan Jokowi yang mengeluarkan dua Keppres yang sudah kita ketahui bersama. Untuk itu, saya perlu memperlihatkan sejumlah syarat cukup, yaitu:
- Budi Gunawan tersandung kasus rekening gendut;
- Adanya ancaman impeachment jika Jokowi melantik Budi Gunawan;
- Adanya ancaman penarikan dukungan dari para pendukung Jokowi termasuk juga suara rakyat secara keseluruhan yang tidak menghendaki seorang tersangka menduduki jabatan Kapolri;
- "Keharusan" tak tertulis untuk menghargai para lawan politik dan para investor politik Jokowi.
Semua poin di atas merupakan syarat cukup untuk berkesimpulan bahwa Jokowi sedang menghadapi dilema atau yang populernya disebut simalakama. Kondisi dilematis ini, tentu harus ditangani Jokowi secara bijak dan itu terlihat dalam keluarnya dua Keppres tersebut. Kesimpulan saya mengandung sejumlah kekuatan:
- Kedua Keppres tersebut membuat Jokowi terlepas dari ancaman impeachment;
- Kedua Keppres tersebut membuat Jokowi tetap mengakomodasi aspirasi pendukungnya termasuk aspirasi seluruh rakyat Indonesia.
- Kedua Keppres tersebut dalam taraf tertentu tidak melukai baik para lawan maupun para investor politiknya secara frontal.