Tak heran, masyarakat dapat dengan sangat mudah menerima orang-orang dari profesi lain semisal dokter, dosen, pengacara, dsb., menjadi legislatif, ketimbang orang-orang dari dunia keartisan. Ini soal implikasinya dalam menjelaskan mengapa muncul diskusi soal para artis yang menjadi anggota legislatif. Pun, masyarakat akan cenderung setuju dengan rancangan kode etik di atas, karena aspek sosio-kultural di atas.
Seruan pribadi
Bagi saya, dengan menyadari akan dimensi sosio-kultural di atas menolong baik kita sebagai masyarakat yang memberikan tanggapan, maupun para artis yang sudah menjadi anggota DPR yang juga ikut memberikan tanggapan. Tetapi mengingat keterbatasan space, saya lebih cenderung mengemukakan seruan praktis untuk para artis yang sudah menjadi anggota DPR.
Reaksi ketidaksetujuan terhadap Rancangan Kode Etik tersebut dari para artis yang sudah menjadi anggota DPR harus dihargai sebagai ekspresi dari hak Anda. Tetapi, dari segi manfaatnya, saya kira akan sangat minim jika tidak ingin dikatakan nihil. Dunia keartisan itu telah "berjasa" menanamkan paradigma di atas berabad-abad lamanya. Dan ingat, masyarakat tidak mengada-ada soal modus operandi di atas.
Cara strategis untuk memperlihatkan ketidaksetujuan itu mestinya dimulai dengan bukti konkret. Jadilah anggota DPR yang dibanggakan rakyat karena kerja baik dan kerja cerdas Anda. Dengan begitu, Anda akan "meruntuhkan" banyak stigma soal dunia keartisan.
Lagi pula, menjadi anggota DPR itu bukan profesi seumur hidup. Ada jangka waktunya. Jika Anda masih ingin ngartis, Anda dapat melanjutkannya nanti. Sebab, dalam kondisi psikologi sosial seperti di atas, Anda harus berhadapan dengan kenyataan bahwa Anda tidak dapat memiliki keduanya pada saat yang sama!