Profesi yang paradoks
Tidak dapat disangkali bahwa profesi sebagai artis (bukan dalam pengertian umumnya: "seniman") adalah sebuah profesi yang paradoks. Bukan profesinya yang paradoks, melainkan profesi itu paradoks dalam pandangan society (masyarakat).
Di satu sisi, natur dari dunia keartisan adalah hiburan. Hiburan itu syarat dengan pengidolaan, ketenaran, euforia, gegap-gempita, kemewahan, ringkasnya segala sesuatu yang fenomenal. Terlepas dari dimensi moralnya, ini merupakan bagian dari salah satu kebutuhan masyarakat bahkan bisa dikatakan bagian dari ekspektasi (harapan) individu-individu dalam masyarakat. Masyarakat membutuhkan hiburan dan dunia keartisan memuaskan kebutuhan ini. Individu-individu dalam masyarakat menyukai dan mendambakan kemewahan, pengidolaan, ketenaran, dsb., dan mereka melihat itu nyata dalam dunia keartisan.
Ringkasnya, dunia keartisan merepresentasikan pemenuhan akan kebutuhan serta menjadi icon ekspektatif dari salah satu dimensi penting dalam masyarakat. Maka tak heran, artis-artis cenderung disambut dengan simpatik, penuh antusiasme, dan sebagainya.
Tetapi, itu bukanlah keseluruhan kisahnya!
Masyarakat mengetahui bahwa modus operandi dari dunia keartisan adalah "bermain peran" (role-playing). Di peran yang ini seorang artis dapat tampil bak malaikat, di peran lainnya ia dapat tampil bak iblis. Semua hanya soal skenario dan keterampilan memainkan peran. Mereka hidup dari waktu ke waktu dengan sebuah tuntutan mendasar untuk tidak "menjadi diri mereka sendiri" ketika tampil di hadapan publik, terlepas dari kehidupan privat mereka bagaimana. Di hadapan publik, mereka adalah peran. That's it!
Maka, profesi sebagai artis dalam pandangan masyarakat, pada sisi luarnya disambut dengan antusiasme terbaik yang ada pada masyarakat, tetapi jauh di dalam lubuk hati mereka, masyarakat mengetahui mereka tidak seperti yang terlihat sekarang!
Paradoks. Ia disambut sekaligus ditolak pada saat yang sama. Secara fenomena ia didaulat, secara noumena ia disepelekan!
Kekhawatiran berbuah keengganan
Berangkat dari psikologi sosial di atas, kita dapat merasakan adanya kekhawatiran bahwa modus operandi yang ada pada profesi keartisan ditransfer kepada publik dari segmen yang sangat vital, yaitu segmen legislatif yang tidak ada unsur hiburan di dalamnya.
Masyarakat masih mentolerir modus operandi di atas karena mempertimbangkan wadahnya yaitu dunia hiburan. Tetapi, ketika orang-orang dari wadah yang berbeda ini masuk ke dalam masuk ke segmen legislatif, penolakan noumenal di atas menjadi sangat menguat. Entah ini berita baik atau buruk, masyarakat cenderung tidak ingin gambling di sini.