Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Membedah Surat AFSC untuk Presiden Joko Widodo

10 Februari 2015   00:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:31 1295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1423489906684340398

Ketika membaca penegasan mereka: "Kami percaya bahwa hukuman mati itu berlebihan", kita bisa langsung melihat inti klaim mereka mengenai hukuman mati. Tetapi bukan hanya ini yang terpenting, sebenarnya. Yang sangat fundamental juga bagi kita untuk membedah substansi klaim di atas ada pada kalimat yang saya kutip di bawah ini:

Saya merasa bahwa itu (eksekusi mati) sangat tidak pantas bagi individu yang tidak memiliki sejarah kekerasan dan yang telah ditunjukkan selama penahanan mereka penyesalan dan keinginan untuk rehabilitasi.


Saya menghitam-tebalkan beberapa frasa di atas untuk menarik perhatian kita kepada ajaran pokok dari aliran Quaker yang dikenal dengan sebutan Terang Batiniah (Inward Light). Mayoritas pencarian mereka akan kebenaran berpusat pada pencerahan batiniah yang memang tidak bisa tidak dianggap semata-mata "berbau" perasaan atau pengalaman subjektif individu per individu.

Di samping intonasinya yang sangat kuat subjektivismenya, tidak berarti bahwa surat tersebut semata-mata curahan perasaan. Seperti yang kita lihat di atas, ada dua premis yang disertakan untuk mendukung penolakan mereka terhadap hukuman mati bagi Chan dan Sukumaran, yaitu: a) mereka tidak memiliki sejarah kekerasan; dan b) mereka memperlihatkan penyesalan serta berperilaku baik.

Pertama, alasan mengenai ketiadaan sejarah kekerasan. Ini adalah irrelevant premise karena mereka memang tidak dihukum terkait kekerasan fisik. Hukuman itu baru dikatakan tidak adil, jika tuduhannya adalah kekerasan fisik yang tidak pernah mereka lakukan. Di simping itu, premis ini mengasumsikan bahwa harus ada kekerasan fisik sebagai syarat untuk sebuah hukuman mati. Sebuah asumis yang entah apa justifikasinya.

Dan kedua, alasan mengenai penyesalan dan perilaku baik. Ini adalah alasan yang hanya memperhitungkan kedua pelaku tersebut tanpa mempertimbangkan dampak yang telah mereka timbulkan melalui kejahatan yang sudah mereka lakukan. Mereka dihukum atau tidak dihukum bukan karena apa yang mereka perlihatkan sekarang dan atau nanti, melainkan karena apa yang sudah mereka lakukan.

Saya kira kita menghargai upaya mereka untuk memperjuangkan apa yang mereka yakini benar dengan cara yang prosedural dan santun. Seharusnya begitu. Tetapi, sejauh yang saya amati, seruan yang disertai argumentasi untuk mendukung klaim mereka, tampaknya jauh dari memuaskan untuk menggugah keputusan hukum atas kedua narapidana di atas.

Catatan: Artikel ini tidak mewakili pandangan pribadi saya mengenai "death penalty".

Referensi:


  1. Pink Dandelion, The Quakers: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2008).
  2. Adrian Davies, The Quakers in English Society - 1655-1725 (Oxford Historical Monographs; Oxford: Oxford University Press, 200).
  3. Link-link terkait isi surat AFSC, dapat dilihat di artikel Mas Wahyu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun