Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Para Saksi Ahli Pihak BG, Stasis, dan Ignoratio Elenchi

13 Februari 2015   16:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:16 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti yang terbaca di Kompas.com, para saksi ahli yang diajukan pihak BG, adalah: Chaerul Huda (Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta), I Gede Panca Hastawa (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung), Margarito Kamis (pakar hukum tata negara Universitas Khairun Ternate), dan Romli Atmasasmita (Guru Besar Hukum Universitas Padjadjaran).

Sekilas mengenai konsep stasis

Sebelum memperlihatkan kaitannya dengan praperadilan BG, saya ingin memberikan gambaran ringkas mengenai konsep stasis terlebih dahulu.

Konsep stasis (Yun.) dipercaya berasal dari Hermagoras dari Temnos (+ 150 BC). Menurut Hermagoras, sebuah argumen dianggap relevan jika secara langsung berhubungan dengan isu sebuah kontroversi. Isu kontroversi inilah yang disebut dengan istilah stasis (Lat. status; Ing. issue).  Konsep ini penting juga dalam pemikiran Aristoteles, termasuk dalam tulisan ahli retorika politik abad pertama Quintilian dan Cicero, lalu dikembangkan dalam bentuk buku manual retorika hukum dan politik pada abad kedua oleh Hermogenes.

Ringkasnya, konsep stasis mengingatkan mengenai pentingnya relevansi pembuktian serta konstruksi argumen yang stict dengan isu sebuah kontroversi. Dan seperti yang dikemukakan Douglas Walton, "Relevance in political and legal argumentation was recognized as important in ancient manuals of rhetoric, designed to be used in cases of legal and political argumentation" (2004, 11).

Masalah relevansi bukan hanya penting dalam argumentasi politik dan hukum pada jaman dahulu, melainkan juga sangat penting ditekankan oleh berbagai pakar logika, politisi, dan ahli hukum hingga kini. Anda bisa membaca mengenai hal ini di dalam buku Walton yang berjudul Relevance in Argument!

Jadi dalam jenis argumentasi apa pun, sebuah upaya pembuktian termasuk di dalamnya argumen, mestinya relevan dengan stasis (isu) yang sedang diperdebatkan atau diperkarakan!

Stasis praperadilan BG dan saksi ahli

Dalam konteks praperadilan BG, kita bisa menyebut stasis-nya dengan sebutan lain, yaitu dalil praperadilan. Salah satu dalil praperadilan BG adalah bahwa penetapan BG sebagai tersangka oleh KPK dinilai tidak prosedural.

Menariknya, dalam tanya-jawabnya dengan Margarito Kamis, pengacara BG (Maqdir Ismail) sibuk melayangkan sejumlah pertanyaan mengenai kewenangan Presiden. Ia ingin membuktikan bahwa pencalonan BG yang sudah dikonsultasikan dengan DPR tidak dapat dicegah oleh lembaga independen semisal KPK (sumber).

Upaya mendapatkan afirmasi dari saksi ahli di atas kelihatannya relevan karena memang dalam konteks besarnya, BG ditunda pelantikannya terkait status tersangka yang ia dulang dari KPK. Dan karena itu pula, mereka mengajukan praperadilan. Tetapi ini tetap harus dinilai tidak relevan. Mengapa?

Douglas Walton, pakar logika dan argumentasi hukum, mengingatkan mengenai dua macam relevansi dalam argumentasi hukum (termasuk juga dalam jenis argumentasi lainnya), yaitu:


  1. Relevansi topikal, yaitu relevansi secara umum dengan topik yang sedang diperdebatkan; dan
  2. Relevansi material, yaitu relevansi secara khusus dengan isu spesifik (stasis) yang sedang diperdebatkan.


Walton memperlihatkan bahwa sebuah upaya pembuktian dan argumen tidak dapat dikatakan relevan hanya karena relevan secara topikal. Sebuah argumen baru dapat dikatakan relevan jika argumen tersebut relevan secara material!

Poin pembuktian yang ingin didapatkan pengacara BG di atas relevan secara topikal, tetapi tidak relevan secara material, yaitu tidak secara langsung membuktikan stasis praperadilan BG!

Ignoratio elenchi

Antoine Arnaud dalam bukunya yang berjudul: The Port Royal Logic, menjelaskan bahwa ignoratio elenchi merupakan sebuah sesat pikir saat terjadi "ignorance of what must be proved to an adversary." Para pakar logika yang lain juga mendefinisikannya kurang lebih demikian. Intinya adalah terjadi ketidakrelevanan dalam kaitan dengan isu sebuah diskusi/kontroversi!

Di dalam ignoratio elenchi, terdapat sejumlah sub-sesat pikir, antara lain: red herring fallacy, straw man fallacy, appeal to emotion, dll. Saya sengaja menyebutkan mengenai sub-sub sesat pikir dalam ignoratio elenchi karena salah seorang pengacara BG menggunakan jurus appeal to emotion saat mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada saksi fakta yang dihadirkan KPK kemarin. Sebuah jurus yang akhirnya ditangani sang hakim dengan mengambil alih pertanyaan pengacara BG!

Setelah menghadirkan saksi fakta yang kesaksiannya tidak relevan seperti yang sudah saya bahas dua hari lalu, pengacara BG tampaknya mengulangi lagi hal ini saat mengorek opini saksi ahli kemarin. Seperti yang sudah dibahas di atas, pengacara BG sibuk memburu topical relevance namun mengabaikan material relevance-nya. Bahkan menurut  Chatarina Mulia Girsang (salah satu pengacara KPK), keempat saksi ahli yang diajukan pihak BG tampaknya "hanya membuang energi" mereka saja (sumber). Maksud Chatarina adalah bahwa isi testimoni mereka, sama seperti halnya Margarito, tidak relevan dengan dalil praperadilan tersebut.

********

Terlepas dari klaim pihak KPK bahwa dalil BG tidak berdasar dan harus ditolak (sumber), namun sejauh yang saya perhatikan mulai dari pengajuan saksi fakta, alat bukti berupa rekaman video, dan para saksi ahli, semua gebrakan tim pengacara BG layak dibahas di bawah tema ignoratio elenchi!

Berita buruknya adalah mereka dapat memenangkan praperadilan tersebut dengan alasan lain, namun yang pasti bukan dengan jurus ignoratio elenchi! Sebuah jurus lancung yang bahkan sudah diidentifikasi fallacious sejak ribuan tahun yang lalu!

Have a great day; God bless you all!

Referensi:


  1. Douglas Walton, Witness Testminony Evidence: Argumentation, Artificial Intelligence, and Law (Cambridge: Cambridge University, 2008).
  2. Douglas Walton, Ad Hominem Arguments (Studies in Rhetoric and Communication; Tuscaloosa, Alabama: The University of Alabama Press, 1998).
  3. Douglas Walton, Relevance in Argumentation (London/New Jersey: Lawrence Elrbaum Associates Publishers, 2004).
  4. Douglas Walton, Legal Argumenantion and Evidence (Pennsylvania: The University of Pennsylvania Press, 2002).
  5. Antoine Arnauld, The Port Royal Logic, 1662, trans. James Dickoffand Patricia James (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1964).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun