Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Dagelan Praperadilan BG, Samad dan Hasto dalam Sabetan Pisau Filsafat Testimoni

12 Februari 2015   17:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:20 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mari sejenak kita lupakan soal praperadilan BG yang sejauh ini bagi saya adalah sebuah dagelan konyol. Penggunaan jurus ignoratio elenchi dengan menghadirkan saksi yang kesaksiannya yang tidak relevan (red herring). Kemudian pengajuan rekaman video dengan tujuan memperlihatkan facial expression yang mengejek dan tertawa, bahkan sudah teridentifikasi sesat nalar oleh Hermagoras dengan konsep stasis-nya (Lat. status; Ing. issue), sekitar 150 tahun sebelum Masehi. Para ahli retorika politik Romawi abad pertama semisal Quintilian dan Cicero, kemudian ahli retorika politik abad kedua Hermogenes pun menegaskan bahwa stasis (isu yang sedang diperbantahkan) tidak pernah te-resolusikan ketika tidak tersentuh secara langsung.

For sure, ekspresi wajah dapat menjadi kriteria juri di pengadilan untuk menilai reliability kesaksian seorang saksi, termasuk menilai kesungguhan seorang terdakwa dalam memperlihatkan penyesalannya. Tetapi, dalam konteks yang hendak dibuktikan tim pengacara BG sekarang, facial expression tidak pernah dianggap berkaitan dengan stasis sebuah kasus! Maka saya heran, apakah tim pengacara BG sedang menderita late bloomer? Entahlah. Yang jelas, mereka sedang berdagelan ria di pengadilan, sejauh ini.

Testimoni Hasto

Saya ingin kembali ke kisruh Samad dan Hasto yang awalnya disentil oleh Sawito. Sebuah kisah kisruh yang kelanjutannya belum tuntas konklusinya hingga kini.

Tidak perlu diulang terlalu rinci soal kemelut kredibilitas yang ditimpukkan Hasto ke wajah Samad. Kita semua menanti investigasi lanjutan dengan satu prinsip fundamental: apa pun harganya, kebenaran harus diungkapkan. Jika Samad telah memainkan peran politik dengan memakai jabatannya sebagai Ketua KPK, then biarlah sekarang ia menuai akibatnya. Tentunya berdasarkan proses hukum yang adil!

Di sisi lain, sisi yang sangat menarik, saya menangkap kesan umum dari banyak pihak bahwa kesaksian Hasto hanya ber-impact pada kredibilitas Samad. Sebenarnya tidak begitu. Hasto pun, jika menggunakan kerangka filsafat testimoni dalam argumentasi legal (hukum), dapat saja terkena sabetan pisau testimoninya sendiri. Akan saya perlihatkan di bawah ini.

Factum probans dan factum probandum

Dalam argumentasi hukum, para pakar membedakan antara direct evidence (bukti yang langsung menegaskan kesimpulan stasis sebuah perkara) dan circumstantial evidence (bukti yang perlu melewati proses inferensi untuk menegaskan kesimpulan stasis sebuah perkara).

Jeremy Bentham, seorang ahli politik pada abad ke-19, menulis buku berjudul: Rationale of Judicial Evidence, memperkenalkan dua istilah penting di sini yang digunakan oleh para pakar hukum hingga kini, yaitu factum probans dan factum probandum. Factum probans adalah bukti-bukti yang diajukan di pengadilan, sedangkan factum probandum adalah proposisi konklusif yang hendak dibuktikan di pengadilan.

Umumnya, testimoni tidak pernah dianggap sebagai "bukti langsung" (direct evidence) dalam argumentasi hukum. Karena testimoni bersifat fallible (dapat gagal; dapat salah), maka dapat dianulir (defeasible). Testmoni tidak pernah boleh dianggap langsung menegaskan factum probandum sebuah perkara di pengadilan, kecuali untuk kasus-kasus tertentu yang sangat jarang!

Pertanyaannya adalah, atas alasan apa sebuah testimoni dapat dianulir?

Argumentum ad hominem

Dalam diskusi logis secara umum, serangan terhadap pribadi tidak boleh dilakukan! Tidak boleh dilakukan, karena kebenaran argumen harus dinilai inherently, bukan pada situasi spesifik dari si pengguna argumen. Tetapi tidak begitu dalam argumentasi hukum, khususnya untuk menilai kehandalan testimoni seorang saksi. Seorang saksi dapat saja berbohong, memiliki bias, atau salah menyimpulkan persepsi, salah mengingat fakta, dsb.

Itulah sebabnya, cross check terhadap kebenaran kesasksian seorang saksi, melibatkan apa yang namanya argumentum ad hominem. Douglas Walton menjelaskan mengenai tiga tipe spesifik dari argumentum ad hominem di pengadilan saat membedah kesaksian seorang saksi, yaitu:


  1. Abusive ad hominem. Di sini seorang examiner (pengacara lawan) berupaya membuktikan bahwa saksi yang bersangkutan memiliki karakter yang buruk (bad character).
  2. Circumstantial ad hominem. Di sini seroang examiner (pengacara lawan) berupaya membuktikan bahwa adanya situasi-situasi dari seorang saksi yang mengurangi kredibilitas kesaksiannya. Misalnya terdapat inkonsistensi di dalam kesaksiannya. Tipe argumen ini ingin membuktikan bahwa saksi tersebut kurang jujur dan karena itu kesaksiannya tidak dapat dianggap dapat dipercaya sepenuhnya (trustworthy).
  3. Bias ad hominem. Di sini seorang examiner (pengacara lawan) berupaya membuktikan adanya unsur-unsur bias dari saksi yang bersangkutan. Misalnya saksi tersebut dibayar oleh pihak lawan, atau memiliki kedekatan pribadi dengan pihak lawan yang berdampak pada motifnya untuk memberikan kesaksian.


Berdasarkan kategori di atas, dalam "penerawangan" saya, Hasto akan bermasalah soal bias ad hominem ini ketika kesaksiannya terhadap Samad diuji kehandalannya.

Bias kesaksian Hasto (?)

Saya sengaja menempatkan tanda tanya dalam kurung pada sub judul di atas (?), untuk mengindikasikan bahwa ini hanya semacam aplikasi dari kategori pada bagian sebelumnya, bukan sesuatu yang sifatnya pasti akan dilakukan! Maksud saya, sebenarnya tidak sulit melihat bias dalam kesaksian Hasto yang mungkin garis besarnya akan saya perlihatkan di bawah ini:


  • Menurut dugaan umum, BG adalah titipan dari PDIP;
  • BG mendulang status tersangka dari KPK di bawah pimpinan Samad yang hampir pasti akan menjegal langkahnya menuju kursi Kapolri;
  • Masyarakat menolak BG termasuk juga Megawati (dan PDIP secara umum) mendapat nama buruk di sini;
  • Hasto adalah politikus PDIP;
  • Jika ia memang mengetahui adanya pertemuan-pertemuan menyangkut agenda politik Samad, maka sangat aneh ia baru bersuara ketika BG sudah mendulang status tersangka yang berdampak pada reputasi PDIP.


Semua indikator di atas sangat jelas memperlihatkan unsur motif untuk "membalas" Samad karena telah menyematkan label tersangka bagi BG yang bahkan berdampak pada reputasi PDIP di mata seluruh rakyat Indonesia.

Jika Hasto tidak memiliki bukti spesifik lainnya, mis. rekaman percakapan, dsb., kesaksian Hasto mengenai pertemuan-pertemuan itu akan bubar dengan sendirinya, atau setidaknya dianggap lemah, ketika motifnya bisa dibuktikan bias! Karena adanya pertemuan-pertemuan itu tidak secara langsung membuktikan bahwa isi pembicaraan tersebut adalah soal motif atau agenda politiknya Samad!

Sampai di sini menjadi jelas bahwa sisi sabetan testimoni Hasto dapat saja menghujam ke arah Samad, namun sisi lainnya pun sedang mengarah ke Hasto, jika kesaksiannya tidak diperkuat dengan bukti-bukti spesifik lainnya.

*******

Akhirnya, saya berharap, selain memberikan lontaran dari sisi lain terhadap testimoni Samad, artikel ini kiranya dapat memberikan pencerahan bagi kita untuk memahami nilai serta fungsi sebuah kesaksian di pengadilan. Kesaksian tidak pernah mutlak dianggap sebagai bukti yang langsung membuktikan kesimpulan stasis sebuah kasus di pengadilan. Kesaksian mesti diperkuat dengan bukti-bukti koroboratif lainnya. Selain itu, unsur personal dari saksi yang bersangkutan juga ikut menegaskan/mengurangi kehandalan kesaksiannya.

Have a great day; God bless you all.

Referensi:


  1. Douglas Walton, Witness Testminony Evidence: Argumentation, Artificial Intelligence, and Law (Cambridge: Cambridge University, 2008).
  2. Douglas Walton, Ad Hominem Arguments (Studies in Rhetoric and Communication; Tuscaloosa, Alabama: The University of Alabama Press, 1998).
  3. Douglas Walton, Relevance in Argumentation (London/New Jersey: Lawrence Elrbaum Associates Publishers, 2004).
  4. Douglas Walton, Legal Argumenantion and Evidence (Pennsylvania: The University of Pennsylvania Press, 2002).
  5. Jeremy Bentham, The Works of Jeremy Bentham, 7 vols., eds. John Bowring (New York: Russell and Russell, 1962).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun