Saya sudah membahas dua poin putusan hakim Sarpin Rizaldi dalam tulisan terdahulu. Saya berargumentasi bahwa dua poin putusan itu merupakan sesat pikir (special pleading fallacy). Dalam anotasi lanjutan dari perspektif logika ini, saya akan membahas satu poin putusan yang lain, yaitu poin mengenai dua alat bukti KPK.
Shifting the burden of proof
Perdebatan mengenai dua alat bukti yang mendasari penetapan tersangka bagi BG berawal dari lontaran dalil praperadilan dari kuasa hukum BG. Kuasa hukum BG mengklaim bahwa KPK tidak memiliki dua alat bukti tersebut.
Oleh karenanya Termohon I (maksudnya KPK) harus dituntut di persidangan ini untuk menjelaskan secara rinci bukti-bukti dimiliki sebagai dasar penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka.
Perlu diingat bahwa diktum penting dalam logika maupun dalam hukum adalah "Barangsiapa yang melontarkan klaim, dialah yang harus membuktikan klaimnya".
Klaim bahwa KPK tidak memiliki alat-alat bukti yang sah untuk penetapan tersangka dilontarkan oleh pihak BG. Artinya, beban pembuktian (the burden of proof) harus ada di pihak BG, bukan KPK. Konyolnya, kuasa hukum BG mengklaim bahwa tidak ada alat-alat bukti yang sah, lalu mereka menuntut KPK untuk menjelaskan secara rinci bukti-bukti tersebut.
Singkatnya, dalil di atas merupakan dalil sesat pikir, yaitu:Â shifting the burden of proof fallacy! Beban pembuktian yang harusnya ada di pihak BG dilimpahkan kepada KPK.
Argumentum ad ignorantiam
Praperadilan pun digelar untuk membuktikan dalil sesat pikir di atas. KPK melalui saksi fakta dan keterangan ahli, mengklaim bahwa mereka memiliki alat-alat bukti yang sah untuk penetapan tersangka bagi BG, hanya saja mereka MENOLAK untuk memperlihatkan itu kepada hakim praperadilan. Dan memang, alat-alat bukti itu tidak berwewenang diuji di praperadilan!
Konyolnya, hakim Sarpin Rizaldi malah mengetok palu bahwa penetapan tersangka Budi Gunawan harus dibatalkan karena unsur pembuktian lemah atau karena tidak memiliki bukti yang kuat.
Saya akan menerjemahkan putusan di atas ke dalam bentuk formal sebuah argumen:
- Harus ada alat-alat bukti sah untuk penetapan tersangka (premis asumptif).
- KPK mengklaim ada alat-alat bukti tersebut (premis).
- KPK menolak memperlihatkan alat-alat bukti tersebut di praperadilan (premis).
- Alat-alat bukti itu tidak dipastikan keberadaan serta validitiasnya (premis implisit dari premis no. 3)
- Sarpin: Unsur pembuktian lemah (konklusi).
Sebelum melanjutkan, saya ingin menjelaskan dua kriteria penting dalam menilai sebuah argumen, yaitu:
- Validitas argumen: Kesimpulannya diharuskan oleh premis-premisnya.
- Soundness of the argument: Baik premis-premis maupun kesimpulannya benar.
Sebuah argumen yang valid, belum tentu merupakan argumen yang benar (sound). Tetapi, sebuah argumen yang tidak valid, sudah pasti merupakan argumen yang salah!
Silakan perhatikan sekali lagi rekonstruksi logis argumen Sarpin di atas. Kesimpulannya tidak diharuskan oleh premis-premisnya, maka kita menyebutnya argumen yang invalid (tidak valid). Tidak valid karena Sarpin mengasumsikan bahwa menolak memperlihatkan bukti berarti bukti bahwa tidak ada bukti!
Asumsi di atas adalah asumsi sesat pikir bernama argumentum ad ignorantiam atau arguing from the ignorance. Ini adalah sebuah sesat pikir karena, dalam konteks ini, menolak memperlihatkan bukti di praperadilan bukan bukti bahwa tidak ada bukti. Tentu saja KPK harus menolak memperlihatkan bukti-bukti tersebut karena memang alat-alat bukti tidak berwewenang diperiksa serta diuji di praperadilan.
Jika tidak berwewenang memeriksa alat-alat bukti itu, atas dasar apakah Sarpin Rizaldi menyimpulkan bahwa unsur pembuktian lemah, sementara ia sendiri tidak menguji bukti-bukti itu karena memang ia tidak berhak menguji bukti-bukti itu?
**********
Sidang praperadilan itu berjalan untuk membuktikan salah satu dalil sesat pikir kuasa hukum BG dan akhirnya juga menghasilkan putusan sesat pikir. Kuasa hukum BG menanam benih sesat pikir kemudian dilahirkan dalam bentuk bayi cacat praperadilan bernama putusan sesat pikir yang dilahirkan oleh ibunya, Sarpin Rizaldi.
Sesat pikir melahirkan sesat pikir!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H