Maka sekolah harus mampu mengelola sampah dengan baik. Yaitu dengan mempersiapkan setidaknya infrastruktur pemilahan sampah organik dan anorganik.
Untuk sampah anorganik, sekolah bisa pakai wadah apa saja. Seperti trashbag (kantong sampah), karung, atau tas kresek besar untuk menampung sampah anorganik.
Yang penting, jangan sampai sampah anorganik bercampur wadahnya dengan sampah organik. Kalau itu terjadi, sampah sudah tidak bisa diapa-apakan lagi dan harus berakhir di pembuangan sampah.
Untuk sampah organik, sekolah wajib punya komposter. Komposter yang besar ukuran 200 liter. Setiap 500 siswa setidaknya ada satu komposter kali jumlah hari siswa mendapatkan makan siang gratis.
Contohnya, suatu sekolah memiliki 500 siswa-siswi. Berarti sekolah ini harus punya 6 komposter . Jika suatu sekolah punya murid 2.000 orang, maka harus punya 24 komposter. Kelebihan jumlah komposter tidak masalah, yang penting jangan sampai kekurangan.
Contoh kerja sekolah dengan 500 siswa. Enam komposter diberi label komposter A, komposter B, komposter C, komposter D, komposter E, dan komposter F.
Sisa makan hari Senin dimasukkan ke komposter A. Jika komposter A penuh sampah organik di hari Senin, maka sisa makanan hari Selasa masukkan ke komposter B. Tapi jika komposter A belum penuh di hari Senin, maka sampah makanan hari Selasa bisa dimasukkan ke komposter A.
Siklus hari dan wadah komposter yang dipakai, jika sesuai maka seperti ini:
Sampah organik Senin ke komposter A.
Sampah organik Selasa ke komposter B.
Sampah organik Rabu ke komposter C.
Sampah organik Kamis ke Komposter D.
Sampah organik Jumat ke Komposter E.
Sampah organik Sabtu ke Komposter F.
Hari Minggu, komposter A sudah bisa diambil isinya untuk diproses lanjutan jadi pupuk organik. Kemudian sampah organik hari Senin selanjutnya sudah bisa masuk komposter A lagi.
Saat komposter A diisi sampah organik, di hari yang sama, komposter B harus dikuras isinya untuk diproses lanjutan jadi pupuk organik juga. Dan begitu terus siklusnya.