Mohon tunggu...
Nara Ahirullah
Nara Ahirullah Mohon Tunggu... Konsultan - @ Surabaya - Jawa Timur

Jurnalis | Pengelola Sampah | Ketua Yayasan Kelola Sampah Indonesia (YAKSINDO) | Tenaga Ahli Sekolah Sampah Nusantara (SSN) | Konsultan, Edukator dan Pendamping Program Pengelolaan Sampah Kawasan. Email: nurrahmadahirullah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Pemerintah yang Harus Ubah Cara Urus Sampah Bukan Rakyat

14 September 2024   10:19 Diperbarui: 14 September 2024   16:39 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) terbit, semangat perubahan paradigma terhadap pengelolaan sampah memasuki era baru. Yaitu, mengarah pada wawasan lingkungan dan sebanyak mungkin melakukan pengurangan, menggunakan kembali, dan mendaur ulang sampah.

Maka terbitnya regulasi UUPS ini idealnya mengharuskan semua pihak untuk berubah dalam mengelola sampah. Pihak itu antara lain, pemerintah, pengusaha atau swasta, hingga setiap individu yang hidup di Indonesia. Semua harus ikuti arahan UUPS agar tidak lagi banyak-banyak membuang sampah ke TPA.

Sejak UUPS diterbitkan, banyak sekali peraturan turunan yang mengatur teknis dan nonteknis pengelolaan sampah. Bahkan sejumlah peraturan memasang target. Di antaranya target Indonesia Bersih Sampah tahun 2025 yang kemungkinan besar gagal. Karena target 30 persen sampah diolah sulit tercapai hingga saat ini. 

Berbagai program juga dibuat untuk mengaplikasikan UUPS dan segala peraturan turunannya. Mulai dari pembangunan instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang kini berubah jadi Pengelolaan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL). Kemudian ada program kantong plastik berbayar (KPB), bank sampah, TPS 3R, TPST, PDUS (baca: Salah Paham, TPA Dianggap Tempat Pembuangan Akhir Sampah).

Tapi apa boleh kata. Program-program itu mayoritas gagal menghentikan gelombang sampah ke TPA. Progresnya hanya sedikit saja mengurangi sampah masuk TPA dan menciptakan gunung sampah semakin tinggi. Di mana semakin tinggi gunung sampah, semakin tinggi pula biaya operasional dan pemeliharaannya.

TPA yang berdasarkan UUPS tidak boleh lagi menggunakan sistem open dumping (menumpuk sampah secara terbuka) pada tahun 2013, hingga kini sebagian besar tidak berubah. Alasannya karena daerah mayoritas tidak mampu secara anggaran membangun TPA Control Landfill atau TPA Sanitary Landfill.

Nyatanya ada contoh riil. Sejumlah daerah yang bisa membangun TPA Sanitary Landfill akhirnya kewalahan juga, karena sampah yang masuk ke TPA berbiaya tinggi itu tetap banyak juga. Akhirnya, TPA Sanitary Landfill hanya tinggal nama saja. Secara operasional tetap open dumping.

Mengapa Hampir Semua Program Pemerintah Mengelola Sampah Gagal?

Kuncinya ada pada pemerintah itu sendiri. Disebabkan oleh tidak adanya perubahan cara kerja. Pemerintah daerah hingga pusat hanya berubah paradigma saja terhadap pengelolaan sampah. Sementara cara kerjanya tetap sama.

Semua pemerintah, dari pusat sampai kabupaten bahkan hingga desa-desa mengkampanyekan supaya rakyat berubah dalam mengelola sampah. Pemerintah selalu berupaya menyadarkan rakyat agar mau mengelola sampah. Di antaranya dengan memilah sampah sesuai jenisnya.

Namun, pekerjaan menyadarkan rakyat itu hanya sekadar edukasi dan sosialisasi saja. Selanjutnya, pemerintah tetap mengangkut sampah, tetap tidak memfasilitasi pemilahan sampah, tetap memungut retribusi pembuangan sampah, tetap mengangkut sampah, tetap mengelola sampah secara sentralistik, dan tetap mempertahan serta terus memperluas TPA.

Rakyat pasti mau mengelola sampah jika difasilitasi dan diberi insentif sesuai UUPS. (Dokumentasi pribadi)
Rakyat pasti mau mengelola sampah jika difasilitasi dan diberi insentif sesuai UUPS. (Dokumentasi pribadi)

Lalu, ketika TPA sudah overload, sudah penuh dan daya tampungnya sudah habis, rakyat yang disalahkan karena tidak sadar mengelola sampah. Para aktivis, akademisi, bahkan bagian-bagian rakyat juga ikut-ikutan menyalahkan rakyat. Sebab, mereka hanya melihat akibat dan bukan penyebab dari masalah sampah. Jika penuding kesalahan itu berdasar pada regulasi dan penyelenggaraan urusan persampahan, mereka akan bertaubat dari menyalahkan rakyat.

Tidak mau dipersalahkan, pemerintah kemudian membuat jargon-jargon membiaskan tanggung jawab. Dikampanyekan bahwa masalah sampah adalah masalah bersama dan tanggung jawab bersama. Produsen juga ikut-ikutan membiaskan tanggung jawab. Mereka yang memproduksi sampah dan seharusnya bertanggung jawab pada sisa produk atau kemasannya, membuat kampanye "sampahmu tanggung jawabmu".

Tidaklah salah bahwa rakyat memang harus ikut bertanggung jawab pada sampahnya. Tapi pemerintah juga harus menyelesaikan tanggung jawabnya. Swasta, pengusaha, dan produsen juga harus menunaikan tanggung jawabnya juga.

Pemerintah Kunci Perubahan Pengelolaan Sampah

Untuk mengejawantahkan tanggung jawab bersama dalam pengelolaan sampah sebenarnya sangat mudah. Dan itu semua sudah ditegaskan dalam regulasi. Terutama dalam regulasi induk pengelolaan sampah, UUPS.

Diurut dari tanggung jawab rakyat. Rakyat bertanggung jawab untuk mengelola. Yaitu memilah sampah yang ditimbulkannya hasil dari membeli produk yang dibuat oleh produsen. Minimal rakyat bisa memilah sampah ke dalam dua golongan sampah. Sampah organik dan anorganik. 

Untuk memilah sampah organik dan organik, maka rakyat membutuhkan dua jenis tempat sampah. Trash bag untuk sampah anorganik dan komposter untuk sampah organiknya.

Lanjut, masuk ke tanggung jawab pemerintah. Penyediaan fasilitas pengelolaan sampah untuk pemilahan itu wajib disediakan oleh pemerintah. Itu jelas dinyatakan di UUPS Pasal 13. Bahwa pengelola kawasan wajib menyediakan fasilitas pemilahan sampah.

Pengelola kawasan di sini bisa kepala sekolah, rektor, pengasuh pondok pesantren, direktur perusahaan, kepala rumah sakit, manajemen hotel/restoran/apartemen, ketua RT, ketua RW, lurah, camat, bupati, gubernur, hingga presiden. Setiap kawasan pasti ada pimpinannya. Maka dialah yang wajib memenuhi kebutuhan fasilitas pemilahan sampah untuk rakyat.

Bersama dengan pemenuhan kebutuhan fasilitas pemilahan sampah itu, harus juga disertai regulasi lokal pengelolaan sampah. Selanjutnya dibentuk kelembagaan pengelolaan sampah, sistem pengolahan sampah, bisnis hasil olahan sampah, insentif bagi rakyat, dan bagi hasil atas bisnis hasil olahan sampah.

Jangan seperti sekarang ini. Rakyat disuruh sadar dan berubah. Rakyat diminta memilah sampah dengan memenuhi kebutuhan fasilitas pemilahan sampahnya sendiri. Lalu, rakyat tetap dipungut retribusi atau iuran pembuangan sampah. Kemudian sampah yang sudah terpilah diangkut dan dijual.

Tentu rakyat menolak. Bagi rakyat, kalau sudah membayar retribusi atau iuran sampah, maka selesailah tugas mereka. Rakyat sudah merasa membayar jasa untuk membuang sampah. Maka, tidak ada lagi yang perlu mereka kerjakan untuk mengelola sampahnya.

Bagaimana Seharusnya? 

Mestinya rakyat yang sudah memilah sampah digratiskan dari retribusi atau iuran sampah. Bahkan bukan hanya gratis, pemerintah justru harus memberi rakyat insentif atas pengurangan sampah yang dilakukannya. Itu tegas di UUPS Pasal 21. 

Dari mana insentif untuk rakyat bisa diberikan? Kan sudah jelas bahwa sampah yang sudah terpilah bukan lagi statusnya sampah. Melainkan bahan baku daur ulang. 

Maka sebagai bahan baku daur ulang, pemerintah bisa menjualnya ke pabrik daur ulang. Terutama pabrik daur ulang dari produsen yang sisa produk atau kemasannya jadi sampah. Pemerintah bisa dapat uang dari penjualan itu untuk kemudian sebagian untuk diberikan pada rakyat sebagai insentif. Sebagian lagi untuk operasional, dan sebagian lainnya untuk kegiatan edukasi yang terus menerus.

Terakhir kita masuk pada tanggung jawab produsen. Produsen wajib bertanggung jawab pada sisa produk atau kemasannya. Itu tegas di UUPS Pasal 15. Caranya, mereka harus bertanggung jawab untuk mendaur ulang sisa produk atau kemasannya. 

Kenapa harus produsen? Karena mereka yang membuat produk itu. Merekalah yang tahu bahan-bahannya dan bagaimana sisa produk atau kemasan itu bisa didaur ulang. Mereka juga yang tahu untuk apa sisa produk atau kemasan itu didaur ulang. Mereka juga yang tahu siapa yang bisa memproses daur ulang.

Jika produsen turun sendiri untuk melakukan pengumpulan sampah sisa produk atau kemasannya, maka biayanya pasti akan sangat besar. Maka produsen harus menghargai upaya rakyat dan pemerintah yang sudah membantu mereka mengumpulkan sampah sisa produk atau kemasannya.

Jadi produsen harus membeli sampah terpilah dari pemerintah. Lalu hasil pembelian sampah dari produsen itu selanjutnya oleh pemerintah dibagi-bagi, termasuk untuk insentif rakyat yang sudah bekerja memilah sampah di rumahnya masing-masing.

Produsen yang mau membeli atau lebih lanjut mengelola sampah sisa produk atau kemasannya juga wajib mendapatkan insentif dari pemerintah. Bentuk insentifnya tentu beda dengan insentif untuk rakyat. Bagi produsen insentif yang cocok misalnya kemudahan perizinan, diskon pajak, predikat atau penghargaan bertema lingkungan.

Setidaknya begitulah rincian tanggung jawab bersama dalam pengelolaan sampah. Semua untung dan senang. Tidak seperti sekarang. Di mana hanya rakyat yang dipaksa mengelola sampah. Meski sudah memilah sampah masih diminta bayar retribusi. Sedangkan sampahnya nanti dijual oleh yang mengangkut sampah. Sementara produsen, sama sekali tidak tampak aksi tanggung jawabnya dalam sistem tersebut.

Sekali lagi, kunci perubahan dalam pengelolaan sampah ada pada pemerintah. Kalau pemerintah tidak berubah ya semuanya tidak akan berubah. Rakyat dan produsen jangan diharap tanggung jawabnya. Karena sistemnya tidak ada. Jika rakyat terus dipaksa berubah sementara pemerintah dan produsen tidak berubah, maka yang terjadi adalah banjir sampah. Di mana-mana akan ada sampah.

Pemerintah menjadi kunci perubahan karena di tangan pemerintah kebijakan bisa berubah dan sistem bisa dibangun. Seharusnya bertahun-tahun terakhir sudah jadi pelajaran. Bahwa janji mesin-mesin berteknologi untuk memilah sampah tidak bekerja maksimal. Buktinya, sedemikian banyak program dijalankan dan sedemikian banyak mesin dibeli, nyatanya keluhan TPA overload dan ancaman darurat sampah terus terjadi.

Jangan karena hilangnya fee pengadaan atau pembelian mesin pengolah sampah lingkungan dan masa depan generasi muda dikorbankan. Jangan karena takut kehilangan pendapat asli daerah (PAD) dari retribusi, masalah sampah terus stagnan seperti saat ini. Semua yang hilang itu pasti tergantikan dengan sistem pengelolaan sampah yang benar secara regulasi dan kaidah lingkungan. (nra)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun