Mohon tunggu...
Nara Ahirullah
Nara Ahirullah Mohon Tunggu... Konsultan - @ Surabaya - Jawa Timur

Jurnalis | Pengelola Sampah | Ketua Yayasan Kelola Sampah Indonesia (YAKSINDO) | Tenaga Ahli Sekolah Sampah Nusantara (SSN) | Konsultan, Edukator dan Pendamping Program Pengelolaan Sampah Kawasan. Email: nurrahmadahirullah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Salah Paham, TPA Dianggap Tempat Pembuangan Akhir Sampah

13 September 2024   07:53 Diperbarui: 13 September 2024   10:02 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebagian besar sampah masuk TPA meski sudah dipilah di TPS, TPS3R, TPST atau PDUS. (Dokumentasi pribadi)

TPA secara definisi dalam regulasi pengelolaan sampah bukan akronim atau singkatan dari tempat pembuangan akhir sampah. Yang benar, TPA adalah tempat pemrosesan akhir sampah. Tempat di mana sampah yang tidak bisa diolah lagi diproses untuk dikembalikan ke alam.

TPS juga bukan akronim dari tempat pembuangan sementara. Yang benar, TPS adalah tempat penampungan sementara. Di TPS inilah seharusnya sampah dapat diolah untuk selanjutnya diproses daur ulang. Sedangkan sisa sampah yang tidak bisa didaur ulang selanjutnya diangkut dan dibawa ke TPA.

Namun, kesalahpahaman tentang TPA dan TPS sebagai tempat pembuangan sementara dan akhir memang tidak bisa dielakkan. Sebab kondisinya memang demikian. TPS dan TPA memang kerap dijadikan tempat pembuangan sementara dan akhir sampah. Setidaknya begitulah mata orang awam melihat.

Penyebab dari kesalahpahaman itu adalah ketiadaan sistem pengelolaan sampah yang sesuai regulasi dan kaidah lingkungan.

Hingga saat ini, 16 tahun setelah Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) diterbitkan, perlakuan terhadap sampah masih tetap sama seperti sebelum regulasi tersebut ada.

Pemerintah yang merupakan regulator dan sekaligus operator masih banyak yang belum mengelola sampah. Pada umumnya masih stagnan pada penanganan sampah. Yang itu hanya berarti memindahkan masalah sampah dari satu tempat ke tempat yang lain. Yaitu, dari sumber sampah di rumah tangga dan sejenis rumah tangga ke TPS lanjut ke TPA.

Kebanggaan pemerintah hingga saat ini masih pada tingkat keberhasilan menangani sampah, bukan mengelola sampah. Menangani sampah berbeda dengan mengelola sampah. Menangani sampah masih sebatas pada bagaimana membuat satu tempat tidak ada sampah, tapi menumpuk sampah di tempat yang lain.

Sedangkan mengelola sampah berarti harus mengurangi, menggunakan ulang, dan mendaur ulang. Dan ini berarti harus ada sistem yang kokoh. Supaya tidak ada kebocoran sampah terjadi di lapangan.

Sebenarnya, upaya untuk mengelola sampah sudah ada. Namun bisa dikatakan kurang atau tidak serius. Keseriusan masih tertuju untuk bagaimana mengangkut sampah dari hulu untuk dikumpulkan di hilir, TPA.

Yang ada saat ini, pengelolaan sampah dilakukan di pusat-pusat pengumpulan sampah. Bukan di hulu timbulan sampah. Program pemerintah seperti TPS 3R (reduce, reuse & recycle) sudah ada ratusan bahkan ribuan titik. Ada pula program TPST (tempat pengelolaan sampah terpadu) dan PDUS (pusat daur ulang sampah). Namun, pada umumnya masih tidak optimal.

Sampah di TPS 3R yang dipilah secara manual oleh pekerja dan pemulung. (Dokumentasi pribadi)
Sampah di TPS 3R yang dipilah secara manual oleh pekerja dan pemulung. (Dokumentasi pribadi)

Padahal, TPS 3R, TPTS, atau PDUS sudah dilengkapi dengan mesin-mesin canggih dan mahal. Ada mesin pemilah sampah, conveyor pemilah sampah, pirolisis, hingga memelihara maggot pemakan sampah. Tapi tetap saja mayoritas sampah tidak bisa didaur ulang, melainkan dibuang ke TPA.

Di TPA, sampah-sampah itupun langsung ditumpuk hingga menjadi gunung-gunung sampah. Maka tidak heran jika TPA dikira dan dianggap tempat pembuangan akhir sampah bukan pemrosesan akhir sampah.

Sampah memang sangat sulit diolah untuk didaur ulang jika sejak dari sumber timbulannya sudah tercampur. Paling banyak, sampah yang bisa diolah dari sampah yang tercampur hanya 20 persen. Penelitian lain menyatakan hanya 5-7 persen saja sampah bisa didaur ulang dari kondisi yang tercampur.

Sisa pilahan sampah di TPST menggunakan mesin conveyor dan tenaga manusia. (Dokumentasi pribadi)
Sisa pilahan sampah di TPST menggunakan mesin conveyor dan tenaga manusia. (Dokumentasi pribadi)

Mesin sederhana dan canggih sulit memisahkan lagi sampah tercampur. Akhirnya, sebagian besar tidak bisa diolah dan dibuang ke TPA. TPS, TPS 3R, TPST, maupun PDUS tidak mampu menyortir sebagian besar sampah supaya tidak dibuang. Memang sampah kalau sudah tercampur dari sumbernya, sebagian besar akan jadi residu.

Seolah-olah sampah yang masuk ke TPA itu adalah sampah seluruhnya yang berasal dari masyarakat. Padahal, sampah yang masuk itu sebenarnya sudah diambil sebagian untuk didaur ulang. Tapi, kuantitas yang dipungut untuk didaur ulang memang hanya sedikit. Sehingga tampak tidak ada yang diolah sama sekali.

Sering saya sampaikan bahwa pengelolaan sampah tidak bisa dilakukan terpusat atau di satu lokasi saja. Pengelolaan harus dimulai sejak dari hulunya. Yaitu, dari sumber sampah. Dari rumah tangga dan sejenis rumah tangga.

Setidaknya di sumber timbulan sampah itu ada dua fasilitas pemilahan sampah. Satu untuk sampah organik dan satu lagi untuk sampah anorganik. Dengan adanya dua tempat sampah terpilah itu maka masyarakatlah yang akan bekerja memilah sampah. Maka masyarakat sudah tidak perlu lagi membayar untuk membuang sampahnya.

Sampah yang sudah terpilah sudah bukan lagi bernama sampah. Statusnya sudah berubah jadi bahan baku daur ulang. Masyarakat yang sudah bekerja memilah sampah bukan hanya tidak lagi membayar, tapi harus diberi insentif atas usahanya memilah sampah. Sampah terpilah ditimbang dan dihargai sebagaimana sistem bank sampah berjalan saat ini.

Bahan baku daur ulang itu kemudian diangkut oleh petugas dari bank sampah. Proses pengangkutannya juga harus terpisah. Selanjutnya dibawalah bahan baku daur ulang itu ke TPS, TPS 3R, TPST, atau PDUS.

Di tempat itulah sampah dipilah lebih detil lagi untuk dijual ke offtaker atau ke pabrik untuk didaur ulang. Sedangkan sampah organik diolah untuk jadi pupuk organik berbahan baku sampah organik domestik.

Dari sisa proses pemilahan detil itulah akan ada sampah yang tidak bisa didaur ulang atau tidak bernilai ekonomis.

Nah, mestinya sampah yang sisa itulah yang dibawa ke TPA. Besar kemungkinan sampah sisa itu hanya sedikit. Target mengolah 70 persen sampah pasti tercapai. Bahkan besar kemungkinan sampah yang diolah bisa mencapai 90 persen. (nra)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun