Bali sedang sering "di-bully" oleh bule-bule pendatang di sana. Pemerintahnya sedang diremehkan karena dianggap tidak berbuat apa-apa untuk mengatasi masalah sampah di pantai-pantai Bali yang berulang tahun demi tahun. Bule lah yang kemudian melakukan gerakan, membuat lembaga taktis, kemudian menggerakkan masyarakat.
Ketika kegiatan pungut sampah di pantai itu dilaksanakan, si Bule bicara di depan kamera. Lalu, video itu lalu diunggah ke media sosial. Selanjutnya, seperti biasa, video itu akan viral.Â
Secara orang Indonesia suka dengan Bule yang peduli lingkungan. Mengapresiasi dan mendukungnya untuk terus melakukan gerakan pungut sampah itu. Padahal, itu hanya solusi sementara.Â
Nah, ngomong-ngomong soal solusi sementara ada sebuah saran untuk Pemerintah di Bali untuk mengatasi masalah sampah di pantai itu. Bisa dilakukan pemerintah kabupaten/kota di Bali maupun Pemerintah Provinsi Bali. Yang penting harus segera dilakukan agar "bullying" sampah di pantai oleh para Bule pendatang tidak berlanjut. Karena pasti akan memukul industri pariwisata di sana.
Solusi ini sama sementaranya dengan gerakan yang dilakukan Bule-Bule yang melabeli dirinya sebagai pecinta lingkungan dengan memunguti sampai di pantai itu. Ini bisa jadi cara terbaik mengatasi sampah di pantai-pantai Bali, sekaligus membungkam mereka di dunia nyata maupun di media sosial.
Caranya, segera anggarkan dana untuk pengadaan jaring. Bukan jaring ikan, tapi jaring untuk menahan sampah dari lautan agar tidak masuk dan berlabuh di pantai-pantai Tanah Dewata itu. Pasang jaring itu di jarak sekitar 300-500 meter dari bibir pantai.
Dengan adanya jaring itu, sampah dari lautan akan tertahan tidak sampai masuk ke pantai. Jika mau agak repot sedikit, anggarkan lagi dana untuk menangkap sampah yang terjaring tadi dengan kapal angkut.Â
Kemudian bawa sampah itu ke pelabuhan terdekat, lalu pindah ke truk angkut sampah dan kirim ke tempat pemrosesan (pembuangan) akhir (TPA) sampah.
Sekali lagi, ini solusi sementara untuk menjaga pantai tidak didatangi sampah dari laut bersama gelombang ombak. Cara ini terpaksa dilakukan untuk menyelamatkan muka Bali dan pemerintahnya yang disebut tidak cukup berbuat sesuatu untuk mengatasi sampah di pantai.
Kendati benar apa yang dikatakan Bule itu soal sampah. Kita tetap harus menyelamatkan muka Indonesia dari "bullying" mereka di media sosial. Kendati benar yang mereka katakan bahwa Indonesia tidak memiliki sistem yang benar dalam pengelolaan sampah, kita harus tetap menjaga nama baik Indonesia meskipun dengan solusi sementara saja.
Jika mau solusi yang permanen, maka pemerintah di Bali, baik kabupaten/kita maupun provinsinya harus menjalankan regulasi Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS).Â
Jangan seperti sekarang ini. Karena dampak tidak menjalan UUPS saat sudah jelas dan menjadi bahan "bullying" oleh para "pecinta lingkungan" pendatang.
Sumber Timbulan Sampah Pantai
Di artikel berjudul "Potensi Sampah Laut yang Jarang Terdeteksi", Artikel Utama Kompasiana, 21 Februari 2022, saya pernah menulis tentang sumber timbulan sampah laut yang berakhir dan berlabuh di pantai.
Sedikitnya ada tiga sumber timbulan sampah laut. Pertama, sampah dari daratan yang memang sengaja dibuang ke sungai, kemudian terbawa ke laut.Â
Kedua, sampah dari daratan yang tidak sengaja masuk ke laut karena bencana angin topan atau terbawa banjir.Â
Ketiga, sampah yang dibuang dari aktivitas-aktivitas di laut seperti sampah kapal-kapal besar, kapal pesiar, kapal peti kemas, dan atau kegiatan di tengah laut lainnya. Mengingat peraturan mengenai persampahan secara nasional dan internasional masih sangat lemah.
Semua sumber sampah itu tidak harus di Indonesia. Bisa terjadi di mana saja. Karena bicara sampah, bukan hanya Indonesia yang sistem pengelolaan sampahnya amburadul. Banyak negara lain, di Asia, Eropa, Amerika, Afrika, dan Arab yang pengelolaan sampahnya tidak lebih baik daripada Indonesia.
Kapal-kapal atau aktivitas tengah laut lain yang membuang sampah ke laut juga belum tentu kapal Indonesia. Kapal-kapal asing dengan kapasitas besar juga bisa dan bebas membuang sampah di laut pada radius sekian kilometer dari garis pantai karena tidak ada pengawasan yang ketat.
Artinya, gelombang sampah yang menghantam pantai-pantai di Bali itu bisa berasal dari mana saja, dari seluruh dunia. Sampah-sampah itu akan berlabuh di pantai di mana angin dan ombak membawanya.Â
Sampah-sampah itu terombang-ambing di lautan sekian lama hingga akhirnya mencapai pantai. Dan itu bisa di pantai mana pun di seluruh dunia.
Tapi, penjelasan demikian tentu tidak bisa jadi pembenaran. Karena, kenyataannya Bali dan Indonesia pada umumnya tidak punya sistem pengelolaan sampah yang baik. Regulasi yang sudah sangat bagus dan cermat mengatur pengelolaan sampah hanya dipakai sepotong-sepotong sebagai dasar.
Andai kata Bali dan Indonesia sudah memiliki sistem pengelolaan sampah yang benar berdasarkan regulasi yang ada, secara tegas kita bisa menolak di-bully. Dengan tegas Bali dan Indonesia bisa menyatakan bahwa sampah-sampah yang ada di pantai itu bukan sampah orang Indonesia. Karena di Indonesia sampah sudah sudah dikelola secara menyeluruh, sistematis, dan berkelanjutan.Â
Tapi untuk sekarang, meski sampah-sampah di pantai Bali itu bukanlah sampah yang berasal dari Indonesia, kita tidak bisa tegak berbicara. Bali dan Indonesia hanya bisa tertunduk malu untuk mengatakan: itu bukan sampah orang Indonesia. Sebab, kita tidak punya bukti apa-apa bahwa sampah-sampah di pantai-pantai Bali itu bukan dari Indonesia. (nra)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H